Membenahi Ujian Nasional
Teuku Ramli Zakaria
(Dosen Fak Tarbiyah, UIN Syarif Hidayatullah)
Ujian Nasional (UN) merupakan kebijakan yang dirancang untuk mengukur pencapaian standar kompetensi lulusan sebagai kompetensi minimal yang harus dikuasai siswa untuk kelulusan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Penyelenggaraan UN juga mendorong siswa, orang tua, guru, kepala sekolah, dan bahkan pemerintah daerah untuk memberikan perhatian lebih serius terhadap proses pembelajaran di sekolah dan bekerja keras sesuai dengan peran masing-masing untuk mencapai kelulusan yang baik.
Namun, pelaksanaan UN dari tahun ke tahun tampaknya tidak sepi dari kesemrawutan. Kekacauan dalam penyiapan, pencetakan, dan pendistribusian soal serta penyimpangan yang sistematis pada tingkat sekolah dan daerah memang sangat memprihatinkan kita semua. Sangat ironis, dalam UN tahun 2008/2009 ini, seluruh siswa di sejumlah SMA, SMK, dan SMP yang berstatus negeri di beberapa daerah terindikasi gagal alias tidak lulus. Hal ini tampaknya sangat janggal. Karena, siswa sekolah negeri relatif telah terseleksi dalam proses penerimaan. Apalagi, bila disinyalir ada di antara sekolah-sekolah tersebut yang masuk dalam kategori sekolah unggulan. Oleh karena itu, sukar diterima kalau seluruh siswanya tidak lulus.
Untuk membenahi kesemrawutan UN saat ini, perlu ditelusuri akar permasalahannya, mengapa kesemrawutan tersebut dapat terjadi dan terus berulang dari tahun ke tahun. Dengan menemukan akar masalahnya, dapat ditentukan langkah dan alternatif pembenahan yang tepat. Menurut pengamatan penulis, faktor-faktor yang memicu kesemrawutan UN antara lain sebagai berikut.
Petama, penyiapan soal yang sepenuhnya terpusat. Dapat dibayangkan, betapa beratnya beban Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik). Untuk setiap mata ujian, Puspendik harus menyiapkan naskah master soal: 1 x 3 (naskah ujian utama, naskah ujian susulan, dan naskah cadangan) x 33 (jumlah provisi) x jumlah mata ujian x jenjang/jurusan/jenis sekolah. Jumlah seluruh naskah master soal yang harus disiapkan oleh Puspendik lebih dari 4000 naskah. Jumlah tenaga teknis yang terlibat dalam penyiapan naskah master soal ini kurang lebih 25 orang. Artinya, pukul rata, setiap tenaga teknis bertanggung jawab menyiapkan lebih dari 160 naskah. Oleh karena itu, mudah dipahami apabila terjadi kekeliruan kunci, kalimat butir soal kurang lengkap, kehilangan gambar stimulus, dan sebagainya. Berbeda dengan Malaysia, dalam pelaksanaan ujian nasional seperti ini, satu naskah soal digunakan untuk seluruh wilayah negara. Bagi para petugas, untuk mencermati satu naskah soal, tentu lebih mudah daripada mencermati naskah soal yang sedemikian banyak.
Mengatasi masalah ini, menurut hemat penulis, penyiapan naskah master soal sebaiknya didelegasikan ke daerah. Konsekuensinya, pada setiap daerah, perlu dikembangkan bank soal yang terkalibrasi dan perlu lembaga yang bertanggung jawab dalam pengembangan bank soal ini. Dalam penyiapan naskah soal, penyelenggara pusat hanya menyiapkan kisi-kisi dan sejumlah butir soal inti (ancor item) untuk menyamakan skala dalam penskoran. Daerah menyiapkan naskah master soalnya sendiri dengan menggunakan bank soal yang ada dan mengacu kepada kisi-kisi dari pusat.
Dengan prosedur penyiapan soal seperti ini, bila terjadi kebocoran di suatu daerah, ujian tidak perlu diulang secara nasional, cukup diulang di daerah yang bersangkutan. Selain itu, semua sekolah dan daerah menguji kemampuan yang sama berdasarkan kisi-kisi dan standar kompetensi lulusan yang ada. Hasil ujiannya juga dapat diperbandingkan antarsiswa, antarsekolah, antardaerah, dan bahkan antartahun.
Kedua, kesemrawutan dalam penyelenggaraan UN terjadi karena banyaknya pihak atau lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan ujian: sekolah, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi, dan sekarang ditambah dengan perguruan tinggi. Dengan demikian, titik-titik kerawanan dan penyimpangan yang dapat terjadi sangat banyak, yakni sama dengan jumlah sekolah, ditambah dengan jumlah kabupaten/kota, dan jumlah provinsi. Semua lembaga ini berkepentingan dengan hasil ujian. Karena mereka ikut bermain, tentu mudah dipahami kalau ada yang berusaha untuk menyiasati pelaksanaan guna memperoleh hasil ujian yang sebaik mungkin. Berbeda dengan Malaysia, ujian nasional seperti ini dilaksakan oleh sebuah lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam penyelenggaraan ujian, yang tidak dapat diintervensi oleh lembaga mana pun. Ujian nasional di Malaysia dilaksanakan oleh Malaysian Examination Syndicate (MES). Lembaga ini berada di bawah Kementerian Pendidikan dan memiliki cabang di semua daerah. Lembaga inilah yang mempersiapkan, menggandakan, dan mendistribusikan naskah soal sampai ke tempat pelaksanaan ujian, mengatur pengawasan, mengumpulkan lembar kerja siswa, dan memeriksa hasil kerja siswa serta melakukan penskoran.
Demikian pula di Singapura, ujian nasional seperti ini diselenggarakan oleh sebuah lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam penyelenggaran ujian, yaitu Singapure Examination and Assessment Board (SEAB). Badan ini berstatus swasta dan dibentuk pada bulan April 2004 berdasarkan The SEAB Act (2003). Ujian nasional di Singapura telah berlangsung sejak tahun 1892. Karena ada sebuah lembaga yang memiliki otoritas, seluruh proses penyelenggaraan ujian nasional di Malaysia dan Singapura tersistem dengan baik dan hasil ujiannya kredibel. Oleh karena itu, untuk membenahi pelaksanaan UN, apabila sistem ujian akhir seperti ini tetap dipertahankan, perlu dibentuk sebuah lembaga yang memiliki otoritas, seperti MES di Malaysia atau SEAB di Singapura. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang ada sekarang ini tetap diperlukan. Namun, kedudukannya adalah sebagai komisi pakar dalam struktur lembaga. Komisi ini terdiri atas para pakar evaluasi dan pakar psikometri. Lembaga penyelenggara UN ini sebaiknya permanen dan terstruktur sampai di daerah. Kedudukannya dapat berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional seperti di Malaysia atau menjadi sebuah lembaga swasta seperti di Singapura. Anggota komisi pakarnya dapat berganti secara periodik, seperti anggota BSNP yang ada saat ini.
Membebani pelaksanaan UN sepenuhnya pada BSNP adalah melampau kapasitas yang dapat dilakukan oleh BSNP. Karena, beban BSNP sangat berat, antara lain merumuskan dan memantau semua standar nasional pendidikan. Selain itu, badan ini juga tidak permanen dan terstruktur. Anggotanya 15 orang yang diangkat untuk jangka waktu empat tahun. Pada umumnya, beliau-beliau tersebut memiliki tanggung jawab melaksanakan tugas tetap di tempat lain. Melibatkan banyak pihak yang terkait dalam pelaksanaan UN seperti sekarang ini tentu sukar menghindari kesemrawutan dan senantiasa akan mengundang penyimpangan. Banyak pihak yang terlibat dalam pelaksanaan UN tentu banyak kepentingan juga yang akan ikut bermain.
Alternatif lain adalah kembali kepada sistem Evaluasi Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Dalam sistem ini, kelulusan siswa ditentukan oleh gabungan Nilai EBTANAS Murni (NEM) dan nilai dua semester terakhir (P dan Q) yang diberikan guru. Kelebihan sistem ini, siswa, orang tua, guru, dan kepala sekolah tidak terlalu khawatir dengan ketidaklulusan sehingga kecenderungan untuk melakukan kecurangan akan lebih rendah. Kelemahannya adalah guru dan kepala sekolah cenderung me-mark up nilai P dan Q guna mencapai kelulusan yang maksimal. Selain itu, siswa, orang tua, guru, dan kepala sekolah kurang terdorong untuk bekerja keras dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
Bila kita kembali ke sistem ujian sekolah sepenuhnya, seperti yang pernah berlaku pada era tahun 1970-an, berarti kita rela membiarkan sekolah meluluskan siswa semaunya. Dengan kata lain, kita rela membiarkan sekolah memberikan 'pendidikan semu' kepada masyarakat, tanpa membekali para siswa dengan kompetensi yang mencukupi sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar