Belajar di Sekolah tanpa Rasa Takut
Hingga kini, sekolah masih terkesan melakukan pembiaran terhadap praktik bullying yang terjadi di lingkungan sekolah. Andra nggak masuk sekolah ya, "Andra pusing,’‘ kata Andra kepada ibunya sesaat sebelum berangkat sekolah. Ke luhan ini muncul setiap mendekati waktu berangkat sekolah. Andra adalah siswa kelas satu SMP di salah satu sekolah favorit di Jakarta. Sudah hampir dua pekan Andra berperilaku seperti itu. Ia menolak untuk berangkat atau pun masuk sekolah. Kalaupun sudah sampai sekolah, Andra ingin lekas pulang ke rumah. Ibunda Andra tak habis pikir.
Anaknya yang di SD dulu rajin ke sekolah, kini terlihat malas berangkat ke sekolah. Suatu ma lam, si ibu sadar bahwa Andra telah menjadi korban bullying di sekolahnya.Saat itu Andra menceritakan, di kantin sekolah ia sering dimintai uang oleh ka kak kelasnya. Jika tak memberi, ia diancam akan dipukul ramai-ramai.
Perilaku seperti Andra, ternya ta juga pernah dialami Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta. Ia mengaku pernah menjadi korban bullying semasa di sekolah. Meutia mengaku pernah tak disapa oleh rekan-rekan perempuan di kelasnya, merasa asing, sehingga berdampak tidak ingin sekolah lagi.
Di Indonesia, sejak lima tahun terakhir, gejala bullying di sekolah mulai menjadi sorotan media massa, meski aksi tersebut sudah terjadi sejak puluhan tahun silam. Istilah yang digunakan juga beragam. Dalam bahasa pergaulan, sering ada istilah gencet-gencetan, perploncoan, atau juga senioritas.
Masih banyak bentuk bullying yang tidak terlihat langsung, padahal dampaknya sangat serius. Misalnya, ketika ada siswa yang dikucilkan, difitnah, dilirik dengan pandangan sinis, dipalak, dan masih banyak lagi kekerasan lain yang termasuk dalam perilaku bullying.
Hingga kini, sekolah masih terkesan melakukan pembiaran terhadappraktik-praktik bullying yang terjadi di lingkungan sekolah. Bullying pun berimbas pada kekerasan yang melibatkan sekelompok pelajar. Munculnya geng siswi ‘Nero’ di Pati, Jawa Tengah, misalnya, atau berbagai kekerasan yang direkam dalam video amatir menunjukkan bahwa tak ada satu sekolah pun di Indonesia yang bebas dari bullying.
‘’Sampai saat ini, baru sekitar 0,001 persen sekolah yang mau benar-benar terapkan no bullying. Sisanya bahkan tak mau membuka pintu untuk pengetahuan dan cara-cara memberantas bullying,’‘ ujar Ketua Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa), Diena Haryana, usai pembukaan pelatihan program ‘Learn Without Fear‘, belum lama ini.
Menurut Diena, fenomena bullying ada di setiap sekolah dengan intensitas yang beragam dan sudah terjadi sejak lama. Namun kini, intensitas kekerasan semakin parah, hingga pada taraf penculikan atau pun menelan korban jiwa. ‘’Budaya kekerasan di sekolah belum bisa diubah. Banyak sekolah yang masih jaim dan tidak mau membuka diri,’‘ keluhnya.
Diena mengatakan, bullyingbahkan sudah membudaya turun temurun dari siswa senior kesiswa junior. Bahkan, beberapa penemuan di lapangan menunjukkan adanya keterlibatan gurudalam menciptakan bibit kekerasan tersebut.
Survei yang dilakukan oleh LSM Plan Indonesia dan Yayasan Sejiwa pada 2008 di tiga kota besar, yakni Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta menemukan, sekitar 67 persen dari 1.500 pelajar yang dijadikan responden pernah mengalami bullying di sekolahnya. Pelaku nya mulai dari teman, kakak kelas, adik kelas, guru, hingga preman yang ada di sekitar sekolah. Akibatnya, sekolah bukan lagi tempat yang menyenangkan bagi siswa, tapi justru menjadi tempat yang mena kutkan dan membuat trauma.
Bentuk-bentuk bullying yang ditemukan di sekolah mulai dari dipukul, ditonjok, ditampar, dihina, lirikan mengejek, julukan negatif, dicolek, dicium paksa, hingga alat kelamin diraba. Lokasi kejadian mulai dari toilet, kantin, halaman, pintu gerbang sekolah, bahkan di dalam ruang kelas.
Meski bullying ditemukan hampir di semua sekolah, hingga kini hanya 500 sekolah dari ribuan sekolah di seluruh Indonesia yang memiliki program nyata untuk menghilangkan bullying. ‘’Artinya, sekolah masih menganggap enteng bullying meski nyawa siswa kadang terancam,’‘ ujar Manajer Komunikasi LSM Plan Internasional di Indonesia, Paulan Aji Brata. Menurut Paulan, penerapan sistem anti-bullying memang masih merupakan hal yang asingbagi sekolah. Padahal, dengan sistem yang tepat, akan mereduksi potensi terjadinya bully ing. Paulan berharap, bullying dapat dihentikan atau diminimalisasikan di setiap sekolah. ‘’Kami yakin kebaikan akan membuahkan kebaikan baru, demi kian pula sebaliknya,’‘ ujarnya.
Sementara Magdalena Sitorus, Wakil Ketua II Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan, rekap data KPAI melalui hotline service dan pengaduan mengenai kekerasan terhadap anak di sekolah pada 2007 menunjukkan, ada 555 kasus kekerasan terhadap anak, 11,8 persen di antaranya dilakukan oleh guru. Magdalena meminta pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional dapat mengeluarkan suatu kebijakan nasio nal agar pihak sekolah mengatasi bullying untuk melindungi anak-anak. ‘’Sehingga anakanak bisa belajar tanpa rasa takut,’‘ tandasnya. endro yuwanto.mr-republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar