Oleh: Adhi Yudhono Kusumo
Tanggal 15 bulan Jawa. Bulan terlihat penuh. Di samping bulan yang tak bernoda itu terlihat bintang leret tiga. Dion menamai ketiga bintang tersebut persis nama emak, adik, dan dirinya. Sedangkan bulan yang bersinar terang sendiri malam ini dinamakan Dion dengan nama bapaknya. Bapak yang telah bahagia walaupun tempatnya jauh dari ketiga bintang kecil yang posisinya berderet di langit malam ini.
Mereka keluarga kecil yang sangat menggantungkan cita-citanya di atas langit. Artinya, emak tidak akan membiarkan Dion dan adiknya sedikit pun kehilangan asa. Dulu, emak sering menyamakan mereka dengan benda-benda di langit. Kebiasaan itu membuat Dion berlari melihat langit pada tanggal lima belas bulan Jawa malam ini.
Dion sering bicara sendiri dengan ketiga bintang tersebut. Terutama, bintang yang dia namakan seperti nama emaknya. Dulu, untuk bulan dan bintang, Dion mengatakan dengan kata-kata indah. Tapi, kali ini kata-kata yang sering diucapkan Dion pada bintang yang bernama seperti emak atau adiknya berubah.
Kalimat kebahagiaan seperti "Sambil memadankan bulan, kita hitung tubuhmu..." diganti dengan penyesalan, "Mak, tidak ada sesuatu yang lebih menyedihkan daripada melihat kesedihan di depan mata kita. Tetapi, kita tidak bisa berbuat apa-apa."
Dion membacakan puisi kepada bulan. Mempercantik suasana. Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk emak, selain membahagiakan emak yang melebur dalam diri sang bintang. "Puisi memang tidak bisa dijual untuk menutup semua utang-utangmu, Mak. Namun, setidaknya tersenyumlah," begitu Dion menutup bacaan puisinya.
Dion teringat emak hendak pergi ke luar kota pagi tadi. Dengan wajah berkaca-kaca, emak pamit kepadanya. "Nak, emak minta uang lima belas ribu buat pergi ke Solo."
"Ada apa di Solo? Berangkatnya sama siapa, Mak?"
"Emak akan berangkat sendiri. Mau minta uang ke saudara buat bayar utang."
"Hutang apa? Berapa?" Dion mencoba bertanya. Siapa tahu dia dapat mencarikan uang. Siapa tahu emak bisa tidak jadi berangkat ke Solo. Sebab, kesehatan emak tidak terlalu baik akibat stroke tiga tahun lalu.
"Lima juta," jawab emak dengan berat. Seberat perkataannya yang tidak sanggup menyelesaikan satu pertanyaan Dion lainnya, buat apa?
Tidak puas dengan puisi, Dion mengambil gitar. Bernyanyi menghibur emak di wajah bintang. Raut wajah bintang yang bernama emak itu tidak berubah. Tetap bersinar kecil dengan harapan yang kecil pula. Kelakuan bintang tersebut sama seperti emak yang kali ini harus menggantungkan nasibnya tidak pada tangannya sendiri.
Dion tahu emak tidak biasa menggantungkan diri kepada orang lain. Sekalipun, orang lain tersebut masih tergolong kerabat dekatnya. Dion sangat yakin emak sedang tersudut oleh keadaan. Selama ini, Dion tidak pernah sekali pun mendengar keluhan emak. Baru kali ini emak mengatakan ketidakberdayaannya kepada Dion.
Emak pasti bingung. Sangat tersudut. Dion sebagai anak pertama ingin membantu. Tapi, dia belum mendapatkan pekerjaan apa-apa selepas SMA. Dengan kata lain, tidak ada penghasilan sama sekali.
Kesedihan emak menjadi milik Dion pula. Namun, dia tidak punya hak bicara walaupun ingin bicara. Sebab, yang dibutuhkan emak sekarang adalah lunas dari utang-utangnya, bukan hanya pembicaraan. Lidah Dion serasa kelu. Menahan perasaan-perasaan dilematis antara hendak membantu dengan posisi sadar dirinya yang tidak dapat membantu apa-apa.
Dion takut memperburuk keadaan apabila bicara. Dion memilih diam sambil memetik satu pelajaran, yakni bicara tidak cukup hanya bermodal kepandaian.
Kesedihan Dion menumbuhkan kerinduan pada sosok bapak yang telah lama tiada. Dia ingin bertemu sekejap saja dengan bapak untuk membicarakan emak yang dilanda kepedihan. Jika bapak ada, pasti tidak akan membiarkan emak tersakiti.
Setidaknya, jika tidak mampu juga, pasti bapak turut menemani emak berangkat ke Solo bersama. "Bapak tolong terangilah emak seperti bulan di tanggal lima belas." Mungkin malam ini Dion rela menunggu pertemuan dengan bapak di dalam mimpinya.
Sebelum berangkat ke peraduan, Dion melihat bintang berleret tiga lagi. Satu lagi bintang belum mendapatkan salam dari Dion. Dia lupa. "Selamat malam, Dik." Dion tersenyum. Melihat bintang yang dinamakan seperti nama adiknya itu memang membuat semua kesedihan Dion sirna entah ke mana.
Bintang tersebut satu-satunya yang dapat memaksa Dion tetap tersenyum. Sebab, dia tidak ingin melihat adiknya merasakan kesedihan seperti juga dirinya. Kehadiran bintang kecil itu mengingatkan Dion kepada adiknya. Adik yang selalu menjelma malaikat. Malaikat yang dapat melepaskan kesedihan-kesedihan keluarga.
Sekali lagi, "Selamat malam, Dik." Salam itu sekaligus menjadi pertanyaan besar bagi Dion. Anton nama adiknya. "Bagaimana caranya kau selalu bisa membuat selipan keceriaan tersebut, Dik?" Anton masih SMA, tapi sudah dapat menyelesaikan masalah yang rumit sekalipun.
Bapak, emak, dan Dion sedang berpikir menyelesaikan utang-utang emak. Namun, Anton membuat kebahagiaan terbina dalam diri keluarganya setiap sebelum tidur. "Dik, bagaimana bisa kau gagalkan emak pergi ke Solo pagi tadi?" gumam Dion. Utang itu masalah uang, bukan yang lain. "Lantas, dari mana kau dapatkan uang untuk menggagalkan emak pergi ke Solo?" tambahnya.
Pantaskah seorang kakak menyerahkan masalah kepada adiknya? Lepas tangan dengan persoalan keluarga. Bersikap tak acuh? Mungkin tidak bagi Dion. Dia tidak mungkin bisa melakukan hal tersebut.
Sejenak sebelum tidur, Dion mendengar pintu diketuk dari luar. Dia tidak ingin membangunkan emak. Emak sedang tidur setelah lepas dari utang-utangnya. Emak biasanya yang membukakan pintu. Barangkali Anton yang mengetuk pintu itu atau si penagih utang. Dion berlari mendahului kebiasaan emak membukakan pintu. Sebab, bagi Dion, emak harus tetap tidur nyenyak malam ini.
Terlihat di pintu, Anton berdiri menunggu seseorang membukakan pintu untuknya. Dion menghampiri adiknya dan membuat sinyal jangan berisik. "Emak tidur, Dik." Dion melihat ada sesuatu yang tidak biasa dengan diri Anton. Bukan disebabkan memar pukulan atau kemurungan di wajah Anton. Bukan itu.
Secara fisik, Anton masih terlihat seperti biasanya. Bahkan, terkesan sangat bergembira hari ini. Namun, Dion tidak melihat Anton pulang mengendarai sepeda motor warisan bapak. Dia menduga ada yang tidak beres dengan diri adiknya. Dia tidak ingin masalah kembali datang di keluarganya setelah masalah pagi tadi menghampiri emaknya. "Dik, mana motormu?"
Anton tidak menjawab dengan detail. Tapi, Dion menjadi tahu bahwa sepeda motor itu kini menjadi syarat pelunasan utang emak. Anton dapat mengambil sepeda motornya lagi jika sudah bisa mengangsur uang pinjaman dari jaminan sepeda motor itu. Dion terdiam. Ternyata, sepeda motor warisan bapak telah menolong keluarga kecil yang menggantungkan cita-citanya di langit.
Sebenarnya, Dion juga punya barang warisan yang seharusnya bisa dijual untuk membantu meringankan beban emak. Namun, dia tidak berpikir sejernih adiknya. Dion menyesal karena tidak melakukan seperti apa yang dilakukan adiknya. Dia merasa menjadi makhluk paling egois. Dia meminta maaf dalam hati kecilnya, lalu kembali ke kamar.
Dion menulis kejadian tersebut di sebuah buku pribadi. Dia sangat malu dengan kebijaksanaan yang telah dilakukan adiknya. Dia ingin segera meninggalkan rumah. Tapi, dia tahu, meninggalkan emak sendirian di rumah bukan perbuatan anak saleh.
Dion berpikir keras tentang apa yang bisa diperbuatnya. Sesuatu yang bisa dilakukan sebagai seorang kakak. Apalagi, setelah pergi bukan menjadi solusi lagi. "Mak, tidak ada sesuatu yang lebih menyedihkan daripada melihat kesedihan di depan mata kita. Tetapi, kita tidak bisa berbuat apa-apa."
Akhirnya, Dion tahu apa yang harus dia kerjakan esok hari. Dia akan turut membantu mengembalikan barang warisan bapak di tangan adiknya. Esok Dion bakal mencari kerja. (*)mr-Penulis adalah pelajar SMA GIKI 2, Surabaya
Senin, 09 Februari 2009
Emak, Setidaknya Tersenyumlah
Emak, Setidaknya Tersenyumlah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar