Masjid dalam Pendidikan Islam
Masjid-masjid besar biasanya juga menawarkan pendidikan ilmu yang lehih luas lagi. Dimasjid-masjid besar itu, para pelajar di jaman kekhalifahanpun bida mempelajari beragam ilmu, seperti tata bahasa Arab, logika, aljabar, biologi, sejarah, hukum dan teologi.
"Di era kejayaan Islam, masjid tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, namun juga sebagai pusat kegiatan intelektualitas," ungkap J Pedersen dalam bukunya berjudul Arabic Book. Sejak awal perkembangannya, masjid terbukti memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan di dunia Islam.
Sejarawan asal Palestina, AL Tibawi, menyatakan bahwa sepanjang sejarahnya, masjid dan pendidikan Islam adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Di dunia Islam, sekolah dan masjid menjadi satu kesatuan. "Sejak pertama kali berdiri, masjid telah menjadi pusat kegiatan keislaman, tempat menunaikan shalat, berdakwah, mendiskusikan politik, dan sekolah," cetus Jacques Wardenburg.
Di manapun ajaran Islam berkembang, di situlah bangunan masjid menjulang. Peran masjid kemudian berkembang sebagai tempat menimba ilmu. Sekolah-masjid di era kejayaan Islam mampu menampung murid dalam jumlah ratusan hingga ribuan siswa. Sebagai pusat intelektualitas, masjid-masjid di era kekhalifahan telah dilengkapi dengan perpustakaan. Koleksi bukunya begitu melimpah, karena banyak ilmuwan dan ulama yang mewakafkan bukunya di perpustakaan masjid.
Sejarah peradaban Islam mencatat, aktivitas pendidikan berupa sekolah pertama kali hadir di masjid pada tahun 653 M di kota Madinah. Pada era kekuasaan Dinasti Umayyah, sekolah di Masjid pun mulai muncul di Damaskus pada tahun 744 M. Sejak tahun 900 M, hampir setiap masjid memiliki sekolah dasar yang berfungsi untuk mendidik anak-anak Muslim yang tersebar di dunia Islam.
Pada zaman keemasan Islam, anak-anak mulai disarankan untuk menimba ilmu sejak menginjak usia lima tahun. Pada tahap awal, mereka diajarkan cara untuk menulis 99 nama Allah yang indah atau asmaul husna. Selain itu, anak-anak Muslim di masa kekhalifahan pun mulai diperkenalkan dengan tulisan ayat-ayat Alquran yang sederhana.
Setelah mahir membaca dan lincah menulis, anak-anak yang belajar di masjid dijarkan Alquran ditambah pelajaran berhitung atau aritmatika. Para siswa juga bisa mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Masjid-masjid besar, biasanya juga menawarkan pendidikan ilmu yang lebih luas lagi. Di masjid-masjid besar itu, para pelajar di zaman kekhalifahan pun bisa mempelajari beragam ilmu seperti tata bahasa Arab, logika, aljabar, biologi, sejarah, hukum, dan teologi.
Pada perkembangannya, para pelajar juga tak hanya menimba ilmu di masjid saja. Untuk mempraktikan kemampuannya dalam bidang kedokteran, para siswa juga belajar di rumah sakit. Yang tertarik astronomi juga belajar langsung di observatorium. Tempat belajar juga bisa dilakukan di madrasah - umumnya tempatnya berdampingan dengan masjid. Selain itu bisa juga di rumah-rumah para guru.
Di wilayah Spanyol Muslim, aktivitas pendidikan pada umumnya bertempat di masjid. Masjid menjadi pusat aktivitas belajar-mengajar di mulai di daerah kekuasaan Dinasti Umayyah itu sejak berdirnya Masjid Cordoba pada abad ke-8 M. Kegiatan belajar-mengajar di masjid memang terbilang unik dan sangat khas.
Format dasar pendidikan di masjid adalah belajar dengan melingkar. Format seperti ini dikenal sebagai Halaqat al-ilm atau halaqah. Dalam ensiklopedia Islam, Halaqah berari "kumpulan orang-orang yang duduk melingkar" atau "kumpulan para pelajar di sekitar seorang guru". Kerap kali, masjid-masjid yang menyelenggarakan halaqah kedatangan ilmuwan tamu.
Secara khusus, ilmuwan atau ulama tamu itu akan dipersilakan duduk di samping guru sebagai bentuk penghormatan. Terkadang, ulama atau ilmuwan tamu itu juga diberikan waktu untuk mengajar. Penjelajah Muslim terkemuka dari Maroko, Ibnu Batutta, dalah catatan perjalannya mengambarkan lebih dari 500 pelajar menghadiri halaqah di Masjid Agung Umayyah, Damaskus.
Geografer dan penjelajah Muslim lainnya, Al-Muqaddasi, juga menceritakan di Masjid Amr dekat Kairo, Mesir terdapat lebih dari 50 halaqah pada satu tempat. Sedangkan di masjid utama Kairo, tak kurang terdapat 120 halaqah. Menurut Ruth Stellhorn Mackensen dalam bukunya Background of The History of Moslem Libarries, mengajar dan belajar di masjid-masjid besar di era kekhalifahan menjadi profesi yang benar-benar membanggakan.
Aktivitas keilmuan di masjid bahkan bisa melahirkan sebuah pendidikan tinggi atau universitas. Sejarah mencatat, hingga kini terdapat universitas terkemuka di dunia Islam yang lahir dan berasal dari aktivitas intelektual di masjid antara lain; Universitas Al-Qayrawwan dan Al-Zaituna di Tunisia, Al-Azhar di Mesir, Al-Qarawiyyin di kota Fez Maroko, dan Sankore di Timbuktu.
Masjid-masjid besar yang menyelenggarakan aktivitas pendidikan mampu menarik perhatian para ilmuwan dan pelajar dari berbagai belahan di dunia Islam. Pada abad ke-12 M, misalnya, aktivitas keilmuwan yang digelar di Masjid Sankore Timbuktu, Mali Afrika Barat mampu mendatangkan 25 ribu siswa dari berbagai negara. Pendidikan yang diselenggarakan di masjid pada masa kejayaan Islam mampu melahirkan sederet tokoh Muslim terkemuka.
Pendidikan Masjid Cordoba Spanyol mampu melahirkan seorang ilmuwa besar bernama Ibnu Rushdi dan Ibnu Bajja. Sebuah masjid di Basrah, Irak juga mampu melahirkan seorang ahli tata bahasa Arab terkemuka sepanjang masa bernama Sibawaih. Ia merupakan murid Al-Khalil Ibnu Ahmad yang mengajarnya di masjid.
Sekolah yang digelar di Masjid Al-Qarawiyyin Fez, Maroko pun mampu melahirkan ulama dan ilmuwan hebat seperti; Ibnu Khaldun, Ibnu Al-Khatib, Al-Bitruji, Ibnu Harazim, Ibnu Maimoun, serta Ibnu Wazzan (Leo Africanus). Bahkan di Masjid Al-Qarawiyyin pula Paus Sylvester II menimba ilmu matematika dan lalu menyebarkannya di gereja-gereja Eropa. Pamor Masjid Al-Azhar, Mesir pun mampu menarik perhatian ilmuwan seperti Ibnu Al-Haitham, Ibnu Khaldun, dan Al-Baghdadi.
Pendidikan yang digelar di masjid pada zaman kejayaan Islam ternyata mampu memberi pengaruh terhadap pendidikan di Eropa. Menurut George Makdisi, guru besar Studi Islam di Universitas Pennsylvania, pendidikan masjid yang diselenggarakan di era kekhalifahan telah memberi pengaruh kepada peradaban Eropa melalui sistem pendidikan, universalitas, metode pengajaran, dan gelar kesarjanaan yang diberikan.
"Islam juga memberi pengaruh kepada Barat dalam penyelenggaraan pendidikan universitas yakni dalam kebebasan akademik profesor dan mahasiswa, dalam tesis dokteral serta yang lainnya," cetus Makdisi. Begitulah peran masjid dalam mengembangkan pendidikan di dunia Islam pada era keemasan Islam. Lalu bagaimanakah peran masjid saat ini?
Gudang Ilmu itu Bernama Masjid
Sebagai pusat kegiatan umat, masjid memiliki tiga peran penting yakni sebagai tempat aktivitas sosial, politik dan pendidikan. Guna menopang ketiga peran penting itu, pada era kejayaan Islam masjid telah dilengkapi dengan perpustakaan. Dengan koleksi buku yang terbilang melimpah.
Seperti halnya dengan sekolah, masjid juga tak bisa dipisahkan dari keberadaan perpustakaan. Aktivitas pendidikan di masjid tentu membutuhkan banyak buku sebagai referensi. Hal ini mendorong masyarakat di dunia Islam secara rela menyumbangkan dan mewakafkan koleksi buku yang dimilikinya disimpan di perpustakaan masjid.
Masjid menjadi tempat yang aman bagi masyarakat Muslim, pada zaman itu. Dengan menuimpan bukunya di masjid, maka buku yang mereka sumbangkan itu akan dirawat dan digunakan para pelajar yang menimba ilmu di masjid. Sehingga, ilmu yang terkandung dalam sebuah buku bisa menyebar luas. Tak hanya disimpan di rak dan dipenuhi debu.
Menurut R Mackensen dalam buknya Background of the History of Muslim Libraries Observes para ilmuwan mewariskan koleksi perpustakaan pribadinya kepada masjid agar buku itu tetap terpelihara. Perpustakaan masjid pun memiliki koleksi buku yang lengkap. Ini juga barangkali yang membuat para guru dan murid begitu betah menghabiskan waktunya belajar di masjid.
Sungguh mengagumkan bila kita mengetahui Masjid Sufiyah di Allepo, Suriah, pada era keemasan Islam mampu mengoleksi buku tak kurang dari 10 ribu volume. Pada masa itu, penguasa Aleppo mempelopori gerakan wakaf buku ke perpustakaan masjid. Gerakan yang dipimpin Pangeran Sayf Al-Dawla itu mampu menggerakan ilmuwan dan bangsawan di wilayah itu untuk menyumbangkan koleksi buku-bukunya.
Gerakan wakaf buku ke perpustakaan masjid itu terjadi hampir di seluruh wilayah dunia Islam. Demi pengembangan dan penyebaran ilmu, masyarakat mau menyimpan bukunya di masjid. Umat Islam di era kejayaan begitu cinta dengan ilmu pengetahuan. Ajaran Islam mengajarkan umatnya untuk berpikir dan mencari pengetahuan agar dapat mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
Tak heran, jika dalam Alquran kata Ilm (pengetahuan) disebut secara berulang-ulang sebanyak 750 kali. Ini pula yang membuat Rasulullah SAW menyerukan umatnya untuk mencari pengetahuan sejauh dan semampunya. Nabi Muhammad SAW pun mengajak umatnya untuk belajar sepanjang hayat - dari saat dilahirkan hingga meninggal dunia.
Perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW itulah yang dijadikan pegangan para penguasa Muslim untuk mendukung dan menopang pendidikan.
Perpustakaan masjid di era keemasan telah menjadi lumbung ilmu yang melecut semangat para pelajar serta ulama dan ilmuwan untuk berlomba-lomba meraih ilmu. Dengan menguasai beragam ilmu pengetahuan itulah, dunia Islam tampil sebagai penguasa dunia selama beberapa abad.
Sayangnya, kini aktivitas keilmuan yang berpusat di masjid menjadi semakin kering. Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa aktivitas keilmuan di masjid mampu melahirkan sederet ilmuwan, ulama dan cendekiawan Muslim yang hebat. Yang mampu memberi kontribusi penting bagi peradaban manusia.mr=republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar