Oleh Ki Supriyoko
Ada ”tradisi” menarik di Indonesia. Saat sebuah undang-undang disahkan, segera muncul penolakan dari masyarakat.
Nasib sama dialami Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Meski sudah disahkan (17/12/2008), penolakan dari berbagai kelompok masyarakat segera ”bergemuruh”. Ada kelompok guru, dosen, mahasiswa, dan pengurus penyelenggara pendidikan yang menolak dengan beragam argumentasi.
Cacat ideologis
Banyaknya argumentasi untuk menolak UU BHP tentu bisa dimaklumi. Namun, dari berbagai argumentasi itu, ada yang menarik diperhatikan, yaitu adanya cacat ideologis di dalamnya.
Pakar hukum UGM Yogyakarta, Sudjito, menyatakan, setelah 10 tahun Indonesia memasuki era reformasi, ternyata banyak produk perundang-undangan yang cacat ideologis. Padahal, salah satu komitmen yang dideklarasikan pada awal reformasi adalah menciptakan produk hukum yang berdasarkan nilai-nilai luhur bangsa, yang bersumber dari Pancasila.
Produk hukum kita tidak lagi bersumber pada Pancasila, sumber segala sumber hukum, tetapi sudah tercerabut dari akar-akarnya dan lebih mengarah pada ideologi asing.
Bagaimana dengan UU BHP? Sama saja! Sudjito menyatakan, UU BHP tidak selaras dengan ideologi bangsa. UU BHP juga merupakan produk perundangan yang individualistik dan kapitalistik karena diproduksi lembaga legislatif yang tidak berkualitas.
Komentar itu selaras dengan komentar Ketua Senat Akademik UGM Yogyakarta Sutaryo yang menilai UU BHP yang telah disahkan mencederai roh pendidikan Indonesia. Mengapa? UU BHP memiliki roh kongsi dagang, mengingat lebih banyak mengacu kepada Washington Consensus dan ditindaklanjuti persetujuan WTO dan GATTS.
Seperti diketahui, terminologi Washington Consensus pertama kali dipresentasikan tahun 1990 oleh John Williamson, ekonom dari Institute for International Economics. Ia menggunakan istilah Washington Consensus untuk merangkum beberapa saran kebijakan dari berbagai institusi di Washington saat itu, seperti IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan AS.
Bagi negara-negara maju, Washington Consensus dianggap sebagai solusi untuk memecahkan persoalan keuangan di dunia, khususnya bagi negara-negara berkembang. Meski demikian, banyak negara berkembang menganggap Washington Consensus sebagai teori konspirasi untuk memindahkan kesalahan pemerintahan negara maju kepada dinamika pasar.
Terlepas dari anggapan mana yang benar, butir-butir kesepakatan Washington Consensus memang berorientasi pada ekonomi kapitalistik. Maka, patut disayangkan jika UU BHP lebih banyak mengacu kepada Washington Consensus sehingga melahirkan roh kongsi dagang di dalamnya.
Uji materi
Benarkah UU BHP mempunyai cacat ideologis karena tidak selaras dengan ideologis bangsa? Benarkah UU BHP mengandung roh kongsi dagang akibat penyusunannya terlalu mengacu kepada Washington Consensus? Jawaban atas aneka pertanyaan ini sebaiknya segera diperoleh senyampang UU-nya belum ditandatangani presiden.
Forum paling tepat untuk mencari jawaban itu adalah uji materi yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK). Secara obyektif, para hakim MK akan menguji apakah substansi UU BHP ada yang tidak sejalan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Jika benar UU BHP mempunyai cacat ideologis serta mengandung roh kongsi dagang bernuansa kapitalistik, tentu tidak sejalan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945.
Apakah MK tidak akan memihak pemerintah? Seharusnya tidak! Secara empirik, keputusan MK sering menguntungkan pemerintah, tetapi sesekali juga merugikan pemerintah. Menguntungkan pemerintah misalnya dalam kasus memasukkan gaji pendidik ke anggaran pendidikan, sementara merugikan pemerintah misalnya dalam kasus penyegeraan pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN oleh pemerintah.
Beberapa kelompok masyarakat menghendaki segera dilakukan uji materi UU BHP, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pun mempersilakan. Adapun Ketua MK Mahfud MD menyatakan siap melakukan uji materi secara profesional.mr-kompas.Ki Supriyoko Pamong Tamansiswa; Mantan Sekretaris Komisi Nasional Pendidikan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar