Kamis, 29 Januari 2009

UU BHP (Tidak) Diperlukan


UU BHP (Tidak) Diperlukan

Oleh Agus Suwignyo

Di tengah meredupnya perhatian atas Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, kita dientak dengan praktik penerbitan 1.400 ijazah ilegal oleh sebuah program studi di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta (Kompas, 12/1/2009).

Sejauh ini, tidak ada pihak yang mengaitkan penerbitan ijazah ilegal itu dengan isu-isu dalam kontroversi UU BHP.

Namun, jika direnungkan, praktik penerbitan ijazah ilegal menegaskan pentingnya UU BHP sebagai instrumen hukum bagi jaminan standar mutu penyelenggaraan pendidikan.

Praktik penerbitan ijazah palsu menunjukkan, badan standardisasi mutu pendidikan maupun badan akreditasi program-program PT yang ada kini tak berfungsi efektif. Mekanisme pengawasan dan evaluasi periodik oleh badan-badan itu belum menjamin pengguna lulusan PT terlindungi dari praktik akal- akalan penyelenggaraan pendidikan.

Kasus ijazah ilegal ini mungkin puncak fenomena gunung es. Di Yogyakarta, setidaknya tiga PTS terindikasi melakukan praktik itu (Kompas, 13/1/2009). Koordinasi PTS wilayah Yogyakarta telah menghentikan izin penyelenggaraan sebuah program studi karena penerbitan ijazah ilegal (Kompas, 17/1/2009).

Akibat tidak efektifnya badan- badan standardisasi dan akreditasi, kita tidak pernah tahu praktik apa saja selain penerbitan ijazah dan oleh PT mana saja yang termasuk kategori ilegal dan berpotensi merugikan konsumen pendidikan, khususnya pengguna lulusan.

Perlindungan konsumen

Dalam konteks perlindungan konsumen, UU BHP diperlukan sebagai jaminan hukum demi penyelenggaraan pendidikan yang mutunya terstandar. UU BHP menekankan jaminan mutu terstandar melalui prinsip transparansi sebagai bagian akuntabilitas institusi penyelenggara pendidikan.

Masyarakat pengguna lulusan PT dapat ikut menilai layak atau tidaknya sebuah program. Selain itu, persaingan antarinstitusi menjadi terbuka dan diharapkan lebih sportif. Kecurigaan rektor sebuah PT di Jawa Timur atas ketidakadilan penentuan kriteria pemeringkatan PT yang dianggap menguntungkan sebuah PT di Banten tidak perlu terjadi.

Singkatnya, prinsip transparansi UU BHP memberi jaminan pendidikan dengan mutu terstandar dan menciptakan iklim persaingan terbuka.

Ada yang Lain

Meski demikian, tampaknya bukan karena prinsip transparansi itulah kebanyakan penyelenggara PT(S) tidak menolak kehadiran UU BHP.

Sejak UU BHP disetujui DPR, Perguruan Taman Siswa terang- terangan menolak, dibarengi sejumlah LSM dan kalangan mahasiswa. Forum Rektor juga ”mengkritisi” agar UU BHP tidak menajamkan dikotomi PTS-PTN. Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) nyaris tak terdengar sejak upaya judicial review Pasal 53 UU No 20 Tahun 2003 yang menjadi dasar pembentukan BHP ditolak Mahkamah Konstitusi dua tahun lalu.

Jika dicermati, UU BHP menciptakan peluang ekonomi yang menguntungkan penyelenggara PT, khususnya ketentuan bahwa maksimal 1/3 biaya operasional ditanggung masyarakat. Ketentuan ini menguntungkan sebab biaya kuliah yang selama ini ditanggung orangtua mahasiswa secara langsung (di luar pajak yang harus dibayar sebagai warga negara) rata-rata mungkin kurang dari 1/3.

Dalam wawancara dengan bendahara sebuah yayasan penyelenggara PT di Yogyakarta tahun 2002, diperoleh pengakuan, hanya 1/7 biaya operasional PT yang ditanggung orangtua mahasiswa. Selebihnya dibiayai sponsor melalui jaringan yayasan di dalam dan luar negeri.

Artinya, untuk PT yang relatif mapan dan memiliki jaringan kerja sama luas, UU BHP justru payung hukum yang ditunggu- tunggu. Selain membawa deregulasi tata kelola, UU BHP memungkinkan penyelenggara PT menaikkan beban biaya kuliah mahasiswa hingga maksimal 1/3 biaya operasional.

Masalahnya, berapa banyak PT di Indonesia relatif mapan dan memiliki jaringan kerja sama hingga siap menjadi BHP?

Pahit

UU BHP menghadirkan pilihan pahit karena realitas penyelenggara(an) pendidikan kita kini amat beragam. Ada dua solusi.

Pertama, memperpanjang masa transisi hingga tiap penyelenggara pendidikan siap menjadi BHP. Agar penyelenggara tidak berlama-lama menyiapkan diri, perlu ada stimulus berbeda (alih- alih sanksi) bagi lembaga yang telah dan belum menjadi BHP.

Kedua, menciptakan kanal sistem tata kelola pendidikan yang berbeda, BHP dan non-BHP. Artinya, menjadi BHP atau tidak adalah pilihan dengan peluang, tantangan, dan konsekuensi pengembangan masing-masing. Pemerintah hanya perlu mempertegas aturan main.

Pilihan kedua itu amat pahit sebab berpotensi menciptakan segregasi kelas sosial layanan pendidikan. Namun, status opsional BHP paling realistis dan inklusif terhadap fakta keberagaman mutu pendidikan kita. Konsep RUU BHP tahun 1953 juga mengajukan pilihan ini.mr-kompas.Agus Suwignyo Pedagog di FIB UGM

Tidak ada komentar: