Gulat Lumpur Made in Bali
Sang surya lamat-lamat menenggelamkan tubuhnya yang bulat di ufuk barat. Hari beranjak malam pada pertengahan Agustus lalu. Pada saat bersamaan, di Sibang Kaja, Kabupaten Badung, Bali, tampak sebuah aktivitas baru saja dimulai. Di atas tanah sawah berlumpur, dua pria bule berbadan gempal: Paul dan Guy, siap berlaga. Keduanya bertelanjang dada. Dan di atas kepala mereka terpasang udeng (ikat kepala khas Bali). Sedangkan tubuh bagian bawah, mulai pusar hingga kaki, dibalut kamen (sarung khas Bali).
Sejenak kelian (bahasa Bali yang artinya wasit) memberi aba-aba, pertanda pertandingan dimulai. Sekitar satu menit, dua pria bule tadi lantas ngigel (bahasa Bali yang artinya menari). Sejurus kemudian, manakala pertandingan dimulai, kedua petarung itu terlihat berusaha keras saling saling membanting. Dua menit bergumul, Guy terlihat di atas angin. "Bluug!" Suara entakan terdengar keras ketika Guy berhasil mengempaskan Paul di atas tanah berlumpur.
Seketika itu pula, percikan lumpur menciprati wajah dan pakaian penonton yang duduk mengelilingi arena pertandingan. Terutama penonton yang duduk di barisan paling depan. Meski kotor tekena noda warna cokelat, tidak ada satu pun penonton yang marah. Mereka justru bersorak menyemangati Paul, yang pada saat itu berpenampilan kocak. "Lawan terus, jangan menyerah," sorak penonton bersahutan.
Di babak kedua, Paul yang berkewarganegaraan Inggris tampak agresif mencoba membanting rivalnya. Namun kerja kerasnya itu sia-sia. Hingga babak kedua berakhir, Paul belum juga berhasil membanting lawan tanding yang juga berkebangsaan Inggris itu.
Di akhir pertandingan, dua juri memberi nilai kemenangan mutlak untuk Guy. "Olahraga mepantigan ini unik dan menyenangkan," Paul memberi komentar.
Petang itu, Paul dan Guy merupakan dua dari lusinan warga negara asing yang ikut menjadi peserta kejuaraan bertajuk ?First Open Mepantigan Bali Championship?. Kejuaraan bertaraf internasional ini digelar selama dua hari, 15 hingga 16 Agustus lalu. Selain peserta dari Inggris, ada pula partisipan dari Amerika Serikat, Swiss, Australia, Denmark, Norwegia, Korea Selatan, dan Jepang. Juga, tentu saja, peserta dari dalam negeri.
Umumnya, peserta asing adalah para ekspatriat yang telah lama menetap di Bali dan sebagian turis asing yang di negaranya sudah mengenal mepantigan, seperti Denmark. "Tingginya minat peserta mepantigan, terutama peserta asing, menjadi bukti bahwa mepantingan berpotensi menjadi olahraga yang bisa diterima secara global," kata Ketua Panitia Kejuaraan, Putu Witsen Widjaya, kepada Gatra.
Mepantigan adalah bela diri asli Bali. Pertama kali diperkenalkan pada 15 Agustus 2003. Nama mepantigan diambil dari bahasa daerah Bali, yaitu pantig yang artinya banting. Jadi, secara harafiah, mepantigan dapat diartikan saling membanting.
Secara umum, olahraga mepantigan tidak jauh beda dari olahraga gulat. Sistem perhitungan nilainya pun hampir sama. Petarung yang berhasil membanting lawan mendapat nilai satu poin. Bedanya, media arena mepantigan lebih unik, yakni tanah sawah berlumpur. Pertandingan mepantigan dilaksanakan dua ronde dan tiap-tiap ronde berlangsung selama tiga menit.
Putu Witsen, pencetus mepantigan, menjelaskan bahwa mepantigan merupakan perpaduan antara olahraga, seni, dan tradisi. Sebagai ciri khas, para petarung wajib menggunakan busana tradisional Bali berupa udeng dan kamen.
Seluruh instruksi dan peraturan pertandingan menggunakan bahasa Bali. Klasifikasi kelas yang dipertandingkan menggunakan nama buah yang banyak tumbuh di Bali, seperti salak untuk kelas pria 50 kg-58 kg dan sabo atau sawo untuk kelas pria 58 kg-65 kg.
Para petarung berlaga dengan iringan musik gamelan Bali. "Kita gunakan bahasa dan musik Bali agar punya ciri khas yang membedakan mepantigan dengan olahraga dari negara lain, seperti taekwondo dari Korea atau judo dari Jepang," ujar Putu Witsen.
Pada saat waktu jeda satu pertandingan dengan pertandingan berikutnya, penonton disuguhi kesenian tradisional, seperti gamelan beleganjur, tari Bali, dan atraksi seni lainnya. Lama jeda itu tidak ada batasan waktu yang jelas.
Sementara itu, pemilihan tanah sawah berlumpur sebagai arena pertandingan bukan tanpa makna. Di sini ada konsep Dewi Sri. Sejak dulu hingga kini, masyarakat Bali mengenal Dewi Sri sebagai dewi padi atau dewi kesuburan. Karena itu, sebelum pertandingan dimulai, biasanya seorang pemuka agama memimpin ritual dalam agama Hindu untuk memberi penghormatan pada sang Dewi Sri.
Dewi Sri dan sawah, menurut Putu Witsen, sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Bali. Maklum, Bali dikenal sebagai daerah agraris, dan sawah menjadi instrumen penting dalam mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat Bali. ?Mepantigan ingin mengangkat kearifan lokal yang sebetulnya ada sejak dulu,? kata pria Bali kelahiran 25 Desember 1970 itu.
Atraksi mepantigan dinilai Kepala Subdit Promosi dan Tujuan Wisata Wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar), Putu Ngurah, sebagai hal positif. Pihak Depbudpar pun, kata Putu Ngurah, sangat mendukung daerah yang mempromosikan tradisi dan budaya lokal. "Saya berharap, mepantigan bisa menjadi sport art tourism yang mampu menyedot wisatawan datang ke Bali," ujarnya. Dan tentu saja ikut menyukseskan program Visit Indonesia Year.
Sujud Dwi Pratisto
[Astakona, Gatra Nomor 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar