Anak-anak di Dusun Laihiding, Desa Kiritana, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur, kini tak perlu berenang lagi untuk mencapai sekolahnya di SD Bidi Praing Desa Kiritana. Kini mereka mendayung sampan yang merupakan bantuan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Generasi. |
Elok Dyah Messwati
Hari masih pagi. Matahari mulai menyinari punggung Gunung Waturumbing yang gundul. Air Sungai Kambaniru memantulkan bayangan punggung gunung itu. Di seberang sungai beberapa siswa SD dari Dusun Laihiding keluar dari jalan setapak menuju tepi sungai.
Dari sana mereka kemudian menaiki sampan, menyeberangi sungai. Seorang anak yang duduk di belakang mengayuh dayung menyeberangi sungai selebar kira-kira 10 meter.
Setelah sampan tiba beberapa siswa turun. Seorang di antaranya tetap di atas sampan, ia mengayuh dayung kembali ke seberang sungai menjemput teman-temannya yang lain. Mereka naik perahu secara bergantian.
Begitu terus beberapa kali. Mereka bergantian menaiki sampan menuju sekolah mereka di Sekolah Dasar Negeri Bidi Praing, Desa Kiritana, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
Mendayung perahu itu menjadi kegiatan rutin karena sekolah mereka berada di seberang sungai. Sekolah itu berada di pusat Desa Kiritana, sebuah desa yang wilayahnya terdiri atas tiga dusun: Laihiding, Kuhiwatu, dan Hanggaroru.
Dusun Laihiding adalah dusun yang terisolasi. Tak ada listrik, tidak ada motor, dan hanya ada jalan setapak berpasir untuk mencapainya. Rumah penduduknya terpencar-pencar, di lereng gunung yang berbeda.
Murid-murid SDN Bidi Praing berjumlah 163 orang, 68 di antara mereka adalah anak-anak dari Dusun Laihiding.
Terpaksa berenang
Dulu, sebelum Desa Kiritana memiliki empat sampan dari dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Generasi yang didukung oleh Bank Dunia, anak-anak Dusun Laihiding terpaksa berenang dua kali menyeberangi Sungai Kambaniru yang berkelok memotong dusun mereka.
Dari rumah mereka, dengan bertelanjang kaki mereka menyusuri jalan setapak berpasir, melintasi kebun jagung, ubi, labu, cabai, kacang panjang, hingga kebun terung. Jalanan berbukit pun harus mereka daki.
Jika memotong garis lurus, jarak dusun mereka ke pusat desa sekitar 1 kilometer, tetapi karena jalanan mendaki dan berkelok, perjalanan pun kian panjang, hingga 3 kilometer. Dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk mencapai sekolah.
Jika musim kering, air sungai surut. Lebar sungai hanya 30-40 meter dengan tinggi air sepaha orang dewasa. Anak-anak kelas III-VI SD melepas pakaian mereka, menyunggi bukunya di atas kepala dan kemudian berenang menyeberangi sungai. Anak-anak kelas I-II SD dipanggul orangtuanya menyeberangi sungai.
”Tapi, kalau musim hujan November-Maret, air sungai meluap hingga ke atas tanggul jalan, menutup akar pohon di tepi sungai, dan sungai pun makin lebar hingga 200 meter. Kalau sungai banjir, anak-anak Dusun Laihiding tak masuk sekolah,” kata Koordinator Tim Pengelola Kegiatan Desa Kiritana Martinus T Ndjama.
Dengan segala keterbatasan itu, Sandiyanto (10) dan Aris Domuwulang (9), yang merupakan murid-murid SD Bidi Praing, tetap menyimpan harapan masa depan.
Sangat berguna
Keberadaan empat sampan PNPM Generasi tersebut, menurut fasilitator Kecamatan Pandawai Esmy Langaih dan Stefanus Mbulu, sangat berguna. Sampan kayu tersebut dipesan dari warga Desa Kiritana seharga Rp 750.000 per sampan. Sampan itu mulai dioperasikan Februari 2008 dan ditempatkan di empat titik penyeberangan di Sungai Kambaniru.
Sejak itulah siswa-siswa SD dari Dusun Laihiding tak lagi harus dua kali berenang melintasi sungai menuju sekolah. Tidak hanya anak-anak Dusun Laihiding yang merasakan manfaat sampan tersebut, bidan Desa Kiritana, Voni Yo Mbali (32), pun merasa terbantu dalam menjalankan tugasnya.
Dulu bidan Voni tak bisa mendatangi Dusun Laihiding karena terkendala Sungai Kambaniru. Ia pernah nekat menaiki sampan kecil pada Maret 2007 saat akan menolong seorang ibu yang akan melahirkan di Dusun Laihiding, tetapi sampan yang dinaikinya terbalik.
Kini anak-anak Dusun Laihiding bisa bernapas lega. Sampan untuk menyeberang sungai sudah ada, tetapi tantangan lain masih di depan mata, yakni panasnya pasir kala mereka pulang sekolah. Ketika Kompas mengantar bidan Voni menuju Dusun Laihiding untuk memeriksa ibu yang baru melahirkan, pasir yang panas menyusup ke jari dan telapak kaki.
Pasir di jalan setapak itu menjadi panas saat matahari terik di atas kepala. Itu adalah saat anak-anak pulang sekolah. Anak-anak yang tak bersepatu itu jelas merasakan panas pasir di telapak kaki mereka. Namun, mereka terus bertahan, terus melangkah, terus mendayung sampan, menggapai harapan....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar