Senin, 08 September 2008

Ramadan dan Pendidikan

Ramadan dan Pendidikan

Oleh Munzir Hitami
Sampai hari ini umat Islam telah menunaikan ibadah puasa Ramadan beberapa hari. Berbagai amal dan ibadah yang ada di dalamnya sudah mulai pula dilakukan sampai nanti akhir Ramadan. Tahun demi tahun kita melaksanakan hal yang demikian.
Seharusnya kita sudah dapat megevaluasi apakah Ramadan yang kita lalui tahun yang lalu cukup mangkus untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas kehidupan kita pada hari-hari berikutnya, atau tidak ada pengaruhnya sama sekali, alias begitu-begitu saja.

Di lain pihak, kita menyaksikan kondisi kehidupan rakyat kita dewasa ini yang semakin tidak menentu, baik dari segi material, maupun spiritualnya. Dari segi ekonomi, kehidupan masyarakat semakin berat karena kenaikan berbagai harga keperluan pokok yang tidak jarang membawa kepada krisis perilaku dan psikologis. Dampaknya juga pada penegakan tatatanan nilai yang semestinya ditegakkan.

Dalam hal ini kedisiplinan menjadi buyar, kejujuran semakin mahal, keadilan semakin jauh, ketaatan kepada aturan menjadi sirna, dan etika publik semakin abu-abu dan terkubur. Korupsi terjadi mulai dari tingkat rakyat seperti dana BLT yang di ambil oleh orang yang tidak berhak, sampai kepada oknum pejabat yang menilap uang rakyat. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh orang yang miskin yang memang pendapatan dan gajinya minim, tetapi ironisnya juga dilakukan oleh orang yang sudah kaya bahkan yang kaya raya. Belum lagi berbicara mengenai lingkungan dan etika publik. Kesadaran memelihara lingkungan sangat tipis. Penanganan sampah dan mental bersih juga belum tertanam secara baik ke sanubari warga, dibuktikan dengan meningkatnya masalah sampah, pencemaran dan pengrusakan lingkungan.

Tingkat kesadaran pada etika publik dapat pula dilihat misalnya dari perilaku orang di tempat-tempat umum yang jauh dari ketertiban, pelanggaran rambu-rambu dalam mengendarai kendaraannya di jalan raya, pelayanan umum yang tidak ramah di rumah sakit dan di pasar. Berkurangnya rasa persaudaraan dan rasa hormat serta saling menghargai anatara sesama, paranoid, dan pelecehan. Kesemuanya itu mencerminkan tingkat perdaban kita yang sudah terbentuk sejak lama.

Dari segi kualitas perilaku, mungkin kondisi semacam itu sudah sampai ke tarap anomali sosial, di mana nilai, norma, dan aturan tidak ada artinya lagi. Semua orang melanggarnya. Aturan dibuat bukan untuk dipatuhi, tetapi untuk dilanggar.

Semua fenomena yang disebutkan itu menjadi bukti gagalnya pendidikan dalam melahirkan generasi dicita-citakan, generasi yang memiliki kualitas tinggi dalam berbagai aspek kehidupan. Pendidikan telah gagal menanamkan nilai-nilai moral kepada anak didiknya. Dalam konteks ini, puasa Ramadhan yang dilaksanakan oleh umat Islam dari tahun ke tahun seyogianya sudah mampu membangkitkan kesadaran moral yang sudah ambruk tersebut. Namun kenyataannya belumlah sebagaimana yang diharapkan itu. Persoalannya adalah sejauhmana orang mampu mengahayati ibadah puasa yang sarat dengan berbagai nilai itu. Kemampuan seperti itu hanya dapat dicapai bila orang memiliki kepekaan etis, yakni kesadaran dan persepsi yang ada dalam diri manusia tentang dirinya sebagai makhluk yang beradab. Dengan kepekaan ini, orang taat hukum atau aturan bukan karena takut hukuman, tetapi karena ia sadar bahwa dirinya memang makhluk yang beradab.

Memang berpikir etis kurang berkembang dalam masyarakat kita ketimbang berpikir normatif. Dengan demikian, bagi kebanyakan umat Islam segala aturan yang tertuang dalam al-Quran dan Hadis dipandang sebagai landasan bagi ‘Fiqih Sosial’ yang praktik-praktiknya akan bisa menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan yang menghadang manusia. Bagi sebagian orang, Nabi Muhammad s.a.w. merupakan pemegang kedudukan sebagai sosok ‘nabi keadilan sosial’ , yang prinsip-prinsipnya menyiratkan pembaharuan-pembaharuan sosial secara radikal dan malahan, dalam beberapa kasus, cenderung menjadi pendekatan yang kurang begitu bersifat membujuk (persuasive) jika dibandingkan dengan pendekatan yang didasarkan pada penerapan rasional atas etika atau akhlak mulia.. Orang selalu berpikir halal-haram, sah-batal, dan pahala-dosa tanpa menghayati fondasi etisnya. Mengubah mind-set normatif yang sudah mapan ke mind-set etis merupakan perkara yang sulit. Orang selalu berpikir melanggar ketentuan lalu lintas itu tidak berdosa karena tidak ada hukumnya dalam fiqih, membuang puntung rokok sembarangan pun tidak berdosa, karena puntung rokok itu tokh bukan najis

Selain keharusan melakukan reformasi pendidikan moral di lembaga-lembaga pendidikan kita, “lembaga pendidikan” Ramadhan ini menyediakan wahana pendidikan moral yang padat. Ramadhan dengan segala amal ibadah yang ada didalamnya memanamkan segala nilai yang diperlukan. Dia menggugah kesadaran etis kita agar terpelihara dari segala hal yang dapat merusak peradaban kita, sebagaimana puasa itu sendiri yang menginginkan ketaqwaan bagi yang melaksanakannya. Ibadah puasa memang ibadah yang sangat istimewa, sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. kepada seorang sahabat beliau Abu Umamah: “`Alaika bi l-shiyam, fa-innahu la `idla lahu” (Engkau harus melaksanakan puasa, karena puasa itu ibadah yang tiada tandingannya)

Pada saat ini kita memerlukan umat dan pemimpin yang jujur, adil, ikhlas, disiplin, bekerja keras, pemurah, ramah, sederhana, tegas, sabar, dan lain sebagainya, yang semuanya itu disediakan segala training-nya dalam puasa Ramadhan. Tinggal lagi masalahnya sekali lagi: sejauh mana umat Islam dapat memanfaatkan kesempatan itu, lalu menghayati dan mengamalkannya untuk perbaikan diri kita masing-masing.mr-riaupos.Munzir Hitami : Purek I UIN Susqa Pekanbaru

Tidak ada komentar: