Kamis, 18 September 2008

Untuk Emakku

Untuk Emakku

Oleh Weni Suryandari

Surti menatap nanar setiap kendaraan yang lewat. Sesekali ia melambaikan tangannya pada setiap sopir, namun malam itu tak satupun sopir kendaraan berhenti. Ia sudah lelah dan mengantuk. Uang di sakunya hanya tinggal beberapa puluh ribu lagi, berarti ia harus mencari uang lagi untuk melunasi hutang biaya rumah sakit perawatan emaknya yang meninggal 1 bulan yang lalu dan harus ia tanggung sendirian sebagai anak satu-satunya yang tersisa dari dua bersaudara.

Di pinggiran jalan itu, kampung Gabus, sedikit agak ke arah ujung perempatan menuju jalur Pantura, adalah lokasi gerai wanita malam yang berdiri berjajar menanti pesanan para lelaki hidung belang. Warung remang-remang adalah tempat bagi mereka yang sudah lama bekerja menjadi wanita malam. Namun bagi Surti yang baru beberapa hari berada di situ, warung-warung itu asing baginya. Ia tak berani memasukinya. Kadangkala beberapa wanita berlenggak lenggok dengan sengaja jika terlihat ada sorot lampu mobil dari kejauhan.

Surti terpaksa mencoba mengikuti jejak para wanita malam itu. Pilihan ini sebenarnya membuat hatinya teriris. Apalagi di masa kecilnya, ia rajin ikutan mengaji pada Wak Salim tiap selepas Magrib. Ia sering membaca komik tentang siksa neraka dan alam kubur bagi pelacur dan pezina. Gambar gambar dalam komik yang terekam oleh memorinya sesungguhnya mampu membuat bulu kuduknya bergidik. Ia ketakutan sendiri sebenarnya. Surti tahu sedari kecil, bahwa tempat itu haram dikunjungi, karena banyak pekerja tuna susila. Hanya sedikit yang masih memegang teguh ajaran agama termasuk Emak dan keluarga Wak Salim tentu saja. Ia patuhi ajaran dari Wak Salim dan emaknya itu sampai kurang lebih hampir 1 bulan yang lalu. Keteguhannya runtuh. Ia minta ma’af pada Tuhan karena tak menemukan jalan lain yang harus ditempuhnya.

Kalau tidak begini, mana mungkin aku bisa mencicil hutang pada Wan Mahmud? Hutang sebanyak 1,5 juta? Sampai berapa lama hutang berbunga itu terlunasi? Untuk menjadi pembantu aku tak sanggup, paling-paling berapalah gaji seorang pembantu? Begitu pikir Surti. Ia menarik nafas panjang.

Surti berdiri lagi. Disibakkannya anak rambut di dahinya yang terurai di tiup angin. Ia menyetop sebuah mobil pik-up. Sang sopir berhenti, namun berjalan lagi meninggalkan gulungan debu yang menerpa wajahnya. Musim panas ini membuat debu jalanan semakin tebal bergulung-gulung. Ia mengibas-ngibaskan tangannya ke udara.

Surti duduk lagi. Ia berjongkok di bawah tiang listrik. Kadang duduk beralaskan batang pohon besar dan tua yang tumbang. Semilir angin malam sangat melenakan matanya untuk terpejam. Seharian ia mencuci dan menyetrika baju-baju tetangga yang menyewa tenaganya. Tiba-tiba suara klakson mobil mengaum keras mengagetkan. Surti tersentak, ia berdiri. Sebuah pick up berwarna biru yang tak bermuatan barang minggir dan berhenti tepat di depan Surti.
“Hei, kamu! Kamu yang waktu itu kuajak ya? Siapa namamu?” tanya sang sopir agak keras.
“Surti, Pak. Bapak mau membawa saya lagi?” Surti mencoba bersikap genit. Kadang ia tak sadar bahwa bedaknya seperti pupur zaman purbakala yang putih mengkilat seperti hantu dalam film film. Bibirnya yang tebal dan sexy dilapisi gincu yang tak diolesi merata. Surti tak pandai berdandan.
“Ya, ya.......kamu. Surti ya? Ikut aku!!” seru lelaki itu memerintah.
“Tapi Bapak mau bayar berapa dulu Pak? Kalau suka sama saya, ngasihnya yang gedean doong.! “ Surti merajuk genit. Bekerja begituan membuat Surti jadi belajar merayu. Ia kikuk.
“Ya, gampanglah itu. Ayo ikut! “ serunya sambil membuka pintu mobil dari dalam. Suara lelaki itu tak lagi garang. Surti mengalah. Ia naik juga ke dalam mobil bak terbuka yang joknya sudah lusuh, kempes dan agak robek di beberapa bagian. Lelaki itu, Mitro berperawakan besar dan berpakaian tidak selayaknya orang kampung situ. Lumayan rapihlah. Sehari-harinya ia bekerja sebagai montir mobil di bengkel miliknya. Mobil biru tua itupun adalah miliknya.

Kendaraan itu melaju kencang menembus kegelapan malam. Sepanjang jalan mereka terdiam dan tak saling berbicara sepatah katapun. Surti tak berani berkata-kata demi dilihatnya lelaki itu berwajah serius dan terlihat seolah memikirkan sesuatu. Satu jam kemudian kendaraan itu berhenti di sebuah tanah lapang. Berdua mereka turun dari kendaraan. Surti tak tahu ia sudah berada di mana. Gadis dusun itu tidak pernah ke mana-mana sedari kecil. Ia hanya hidup berdua dengan ibunya di kampung itu. Bapaknya sudah lama meninggal, ketika Surti masih berusia 4 tahun. Kakak lelakinya pergi entah ke mana dan tak pernah kembali lagi menengok dia dan ibunya. Bahkan Surti juga lupa seperti apa wujud sang kakak. Begitulah. Surti tak pernah pergi ke tempat yang lebih jauh dari kampungnya.

Berdua Surti dan Mitro menyusuri jalan setapak yang ditumbuhi ilalang cukup tinggi di bagian kanan dan kiri jalan. Di kejauhan sana ia melihat sinar lampu cukup terang dari sebuah rumah yang terletak di tanah lapang. Langkah kaki Surti kokoh nian mengikuti langkah Mitro yang berjalan cepat di depannya.
“Mau kemana kita Pak? Jangan jauh-jauh.............nanti aku susah pulangnya!” seru Surti.
“Nanti kan aku antar? Ikut aku dulu.....!” Mitro menengok dan berhenti sebentar.
“Tapi jangan macam-macam lo, Pak. Nanti aku lapor polisi.” suara Surti ketakutan. Ia ingin lari tapi jalan raya cukup jauh dari tempat itu. Apalagi ia juga tak begitu yakin apakah laki-laki ini jahat atau baik. Ia berkomat-kamit sendiri.
Dua hari yang lalu lelaki ini menyewanya. Tapi ajaibnya Surti tak disentuhnya sama sekali. Ia hanya disuruh mendengarkan semua cerita tentang mendiang ayahnya yang suka memukuli ibunya, tentang adiknya yang bekerja sebagai wanita pekerja malam kelas tinggi di ibukota dan sudah meninggal karena over dosis, tentang kekasihnya yang meninggalkannya dan menerima pinangan seorang taukeh pemilik toko bahan bangunan.

Jika dilihat-lihat, lelaki ini cukup gagah. Wajahnya putih bersih. Meskipun ia pekerja bengkel, tetapi perawakannya bukan seperti montir-montir pada umumnya. Hanya rambutnya saja yang terlihat agak ikal dan gondrong. Walaupun tampak kasar, kelihatannya ia orang terpelajar. Tapi Surti memang lugu dan tak bisa menilai. Berani berdiri memajang badannya buat lelaki hidung belang saja sudah merupakan hal yang luar biasa bagi Surti. Ia benar-benar nekat untuk itu.
“Assalaamu’alaikum..............Maaak.........??” Mitro sopan memanggil Emaknya.
“Alaikumsalam sudah pulang kamu Nak? Lilis mana? Ketemu nggak...??”
“Ayo tebak, ini siapa Mak? “ yang ditanya mengernyitkan alisnya. Ia menatap wanita muda di depannya. Bergantian perempuan tua itu menatap Surti dan kembali lagi menatap foto hitam putih di dinding. Wajahnya menampakkan raut bahagia. Ia memekik
pelan.
“ Lilis..............!!! “jeritnya. Ia ingin memeluk Surti. Surti tak menunjukkan reaksi apa-apa. Mitro merangkul bahu Emaknya.
“Anakku........Lilis....!” Si Emak sedih. Ia menangis memegangi tangan Surti yang berdiri mematung. Dirabanya wajah Surti, dibelai-belainya pipinya.
“Nah, Surti. Eh, namamu Surti ‘kan? Dengarkan, mengapa kamu aku bawa ke sini? Lihatlah foto itu. Kamu persis adikku yang meninggal karena overdosis.......” Mitro menjelaskan. Emaknya sibuk mengusap air mata, terduduk di sebuah kursi makan, tak mendengar perkataan Mitro. Surti menjadi rikuh dan tak mengerti harus berbuat apa. Ia memandangi foto itu lekat-lekat. Ia merasa seperti melihat dirinya di sana. Wajahnya bulat telur, berhidung bangir, dan bibirnya tebal berbentuk indah. Meskipun foto itu hitam putih, namun jelas Surti tahu ia berambut lurus dan panjang, sedangkan Surti berambut ikal tak beraturan.
“Jadi.........? Bapak ini tidak jadi make saya?” Surti bertanya polos.
“Betul sekali Surti! Aku tahu kamu orang baru disitu. Aku beberapa kali melewati tempat itu, dan kaget melihat adikku berdiri di situ. Tapi jangan kuatir. Kamu aku bayar.” Mitro menjadi lunak. Kali ini Surti tahu bahwa Mitro bukanlah orang jahat. Jadi ia merasa aman. Wanita tua yang dipanggil Emak masih duduk di kursi makan. Tertegun.
“Tapi.............aku harus berbuat apa Pak? ” Surti bertanya ragu sambil menatap wanita tua yang dipanggil Emak itu, sebagaimana Surti memanggil Emaknya sendiri. Emak menatap mereka berdua bergantian tak mengerti percakapan itu.
“Kamu tidak harus berbuat apa-apa, Surti. Aku menduga kamu adalah perempuan baik-baik. Kamu begitu kaku dan tak biasa bekerja begituan. Aku hanya ingin Emakku melihat kamu, Lilis, baik-baik saja.”
“Tapi....saya butuh uang untuk membayar hutang, Pak! Hutang saya banyak....” Surti hampir menangis. Terbayang wajah Wan Mahmud yang semula baik dan ramah tiba-tiba berubah bengis dan merongrongnya untuk segera membayar hutangnya.
“Hutang apa dan pada siapa? Kamu masih punya orang tua atau tidak?”
“Tidak, Pak.......Emak saya sudah meninggal 1 bulan yang lalu!” Surti mulai menangis. Matanya berkaca-kaca.
“Lalu hutangmu itu........hutang apa? Pada siapa?” Mitro tak sabar ingin tahu.
“Untuk melunasi biaya perawatan Emak saya waktu dirawat di rumah sakit.......” Surti menggigit bibir. Hidungnya kembang kempis menahan tangis.

Akhirnya Surti menceritakan semuanya dengan terbata-bata. Airmatanya mengalir deras, menganak sungai. Semua biaya perawatan Emak sudah dibayar oleh Wan Mahmud, lintah darat dikampungnya. Setiap pekan Surti wajib membayar hutang itu sebesar 200 ribu rupiah. Wan Mahmud tak mau tahu darimana Surti bisa mendapatkan uang itu. Hutang itu harus dibayar beserta bunganya. Meski ia sudah berusaha menjadi buruh cuci di siang harinya, tapi belum bisa mengumpulkan uang sejumlah 200 ribu pada akhir pekan. Itu sebabnya ia belajar bekerja begituan mengikuti jejak teman-temannya. Meskipun ia belum pernah mendapat pelanggan. Mitro menggeleng-gelengkan kepala mendengarkan cerita Surti. Si Emak hanya duduk dan menatap Surti yang dipanggilnya Lilis. Tangisnya mereda. Lilis tidak rindu pada Emak? Kenapa kamu diam saja Lis? Begitu batin Emak.
‘Nak......... Tinggallah di sini bersama Emak dan Mas mu. Jangan pergi lagi. Emak kangen sama Lilis. Jangan mau kerja begituan lagi, ya Nak.” Si Emak berkata lirih. Surti terdiam. Ia bingung kalau namanya harus diganti.
“Tapi........aku bayar hutang dari mana, Pak?” Surti bertanya pelan menengok Mitro. Ia tahu Emak tidak menyadari bisikan-bisikan itu. Pendengaran Emak kurang baik tampaknya.
“Gimana Mitro? Emak ingin dia tinggal di sini saja, jangan pergi ke Jakarta lagi.“ Emak bertanya pada Mitro yang tertunduk resah. Ia tahu Emaknya sangat kehilangan Lilis dan menderita malu akibat perbuatan Lilis di Jakarta. Mereka memilih tinggal di daerah itu, menyepi, menjauh dari tetangga dan omongan orang. Dengan kedatangan Surti, Mitro ingin bisa mengobati kesedihan ibunya yang seperti orang hilang ingatan. Selama ini Mitro tak pernah tega mengatakan yang sebenarnya tentang Lilis. Setiap hari Emak hanya mengusap foto Lilis dan menatap jalan raya mengharap kepulangannya. Dipandanginya wajah Emak yang tampak jauh lebih tua dari usianya. Emak tak pernah mau menerima kenyataan bahwa Lilis sudah di alam baka.
“Tapi kan yang penting Emak sekarang sudah tahu bahwa Lilis baik-baik saja. Lihat nih! Lilis sudah pulang. Ia ingin menengok Emak”
“Ya tapi Lilis nggak boleh pergi lagi, To....! Suruh adikmu itu tinggal di sini lagi.” Emak menangis lagi. Mitro menggigit bibir putus asa. Tentu sulit menyuruh Surti harus tinggal bersama mereka apalagi harus berganti nama menjadi Lilis.
“Mak.........apapun akan saya lakukan demi kebahagiaan Emak.” Mitro menyerah. Dipegangnya tangan Emak dan diciuminya berulang kali. Suaranya serak menahan tangis.
“Emak jangan khawatir. Lilis akan tinggal di sini lagi. Bagaimana Lis?” Mitro beralih menatap Surti yang tetunduk sedih.
“Saya malu, Pak......saya takut ....”
“Jangan panggil Pak lagi pada saya. Panggil saja Mas. Sekarang kamu tidur di sini, besok kuantar pulang untuk mengambil pakaianmu.” Mitro berkata tegas pada Surti. Tersirat kelegaan diwajahnya. Ia lega bisa mengobati kesedihan Emak.
Azan Shubuh baru saja usai. Surti mengintip Emak dan Mitro sholat berjama’ah. Surti merasa tak enak. Sudah hampir dua minggu ini dia tidak pernah sholat. Dipinjamnya mukena Emak. Kaku ia mengambil wudhu. Dicucinya wajah yang berlumuran bedak tebal itu. Wajahnya terlihat lebih segar dan cantik, persis seperti Lilis. Dengan gemetar ia memasang mukena itu. Ia ragu apakah Gusti Allah akan mengampuninya. Matanya sepat karena semalaman Surti tak bisa memejamkan matanya. Meskipun rumah ini terlihat indah, namun Surti merasa asing berada di sini.
“Lis.........habis sholat temani Emak masak nasi di dapur ya? Kamu belum lupa tugasmu kan? Bikinin nasi goreng untuk Masmu.” Emak berseru keras dari balik kamar.
“Iya, Mak.sebentar lagi!” Surti menyahut sambil melipat mukena. Hari itu ia merasa mendapatkan udara baru. Rasa pengapnya hilang......
* * *

Pukul sepuluh pagi itu, matahari tersenyum ceria menapaki pagi. Barulah jelas bagi Surti. Yang dilihatnya tanah lapang dipenuhi ilalang tadi malam, tak lain adalah kebun jagung milik Mitro. Tanah Mitro yang seluas itu ditanami jagung dan sebagian lagi padi. Rumah itu terlihat lebih megah dan indah di pagi hari. Mitro meluncur mengantar Surti pulang untuk mengambil pakaiannya dan menunjukkan rumah Wan Mahmud. Mitro ingin segera menyelesaikan urusannya dengan lintah darat itu.
“Hei, lintah darat keparat!! Berapa hutang Surti padamu? Kubayar lunas hari ini juga. Jangan pernah lagi kau ganggu Surti dengan tagihan hutangnya, mengerti??” Mitro berseru galak.
“Hai..........hutang nyawa dibayar nyawa, hutang duit dibayar duit? Surti dapat lelaki darimana? Wah, baru sebentar kerja gituan udah dapat pelanggan orang kaya.......” seringai Wan Mahmud menyebalkan.
Mitro ingin menonjok wajah lintah darat itu. Namun karena lelaki berpeci itu nampak lebih tua darinya, ia tahan kepalan tangannya. Surti mundur selangkah di belakang Mitro. Mitro mengeluarkan amplop dari balik jaketnya. Dilemparkannya amplop itu ke wajah Wan Mahmud keras-keras. Wan Mahmud berusaha menghindar, namun kalah cepat. Ia bersungut-sungut mengambil amplop itu di lantai. Sakit juga hidungnya terkena tamparan amplop itu.

Surti melangkah terburu-buru menuju rumahnya yang berjarak dua gang dari rumah lintah darat itu. Mitro mengikutinya. Ia mengeluarkan beberapa helai pakaian dari dalam lemari plastik yang beritsleting dan sudah robek tak bisa tertutup lagi. Ia memungut kresek hitam di atas tikar tidurnya dan memasukkan pakaian itu ke dalam kresek hitamnya. Rumah itu sungguh sempit dan berdebu. Di pojok langit-langit ruangan itu bertebaran sarang laba-laba. Beberapa lubang terdapat di bagian dapur yang berdinding bilik. Ia turunkan foto Emak waktu muda dulu, satu-satunya foto yang ia punya, dimasukkannya ke dalam kresek hitam yang berisi beberapa pakaian tadi. Surti menatap seluruh ruangan beberapa jenak sebelum menutup pintu rumah. Ia menghela nafas panjang, wajahnya terlihat hendak melepas ketegangan yang masih tersisa akibat pertemuannya dengan Mitro dan pertemuannya dengan Wan Mahmud tadi. Masa depan yang baru menghadangnya. Semua perasaan bercampur aduk di dadanya.

Siang itu juga mereka meluncur kembali ke rumah Mitro menemui Emak. Surti bahagia............sesungging senyumpun terukir di wajahnya yang tak berbedak lagi. Matanya terpejam kelelahan.. Mitro diam tak menoleh sambil mengendarai. Wajahnya dipenuhi kebahagiaan yang juga akan dirasakan Emak nanti. Surti menggumam pelan, Ah...........sekarang aku berganti nama menjadi Lilis! Tak apalah, terserah Mas Mitro untuk mengatakan yang sebenarnya nanti, yang penting aku punya keluarga baru. Bisiknya pelan sepelan senandung dedaunan menyambut pagi.

Data Penulis

Weni Suryandari, Sarjana Bahasa Inggris dan berprofesi sebagai guru Bahasa Inggris. Senang menulis cerpen, puisi dan novelette. Tinggal di wilayah Bekasi perbatasan dengan Bogor, Perumahan Vila Nusa Indah. Banyak menulis cerpen dan saat ini sedang bergiat di sastra dan masih gandrung menulis puisi dan cerpen. Sebuah karya Novellettenya berjudul : Kesetiaan Seorang Sri memenangkan Sayembara Novellette Nyata 2008 yang diadakan oleh Tabloid Nyata bulan April lalu dan termasuk pemenang 7 Kategori Terpuji dari 565 penulis dari seluruh Indonesia, yang saat itu dinilai oleh Tim Juri terdiri dari Andrea Hirata, Pipiet Senja dan Raudal Tanjung Banua. Menurut informasi dari panitia, naskah para sepuluh pemenang akan dibuat menjadi antologi novelette.

Aktif di Komunitas Puisi di Apresiasi Puisi Multiply, member di milis Sastra Bentang dan Penulis Lepas. Penulis menuangkan karya-karyanya pada blognya di wenivni.multiply.com.

Saat ini sedang menulis sebuah novel tentang pendidikan dan anak-anak bermasalah, namun belum rampung seluruhnya. Semoga bisa segera terwujud.mr-kompas

Tidak ada komentar: