Pembiayaan Sekolah Berbasis Kualitas (Pengalaman Sukma Bangsa)
ISU pembiayaan sekolah menjadi penting jika dikaitkan dengan digulirkannya kebijakan anggaran pendidikan 20% mulai tahun anggaran 2009/2010, baik yang harus disediakan dalam kerangka APBN maupun APBD. Kajian tentang pembiayaan sekolah (school funding) menjadi relevan mengingat sistem pendidikan kita belum menganut asas pembiayaan sekolah secara integral yang berorientasi pada pengembangan aspek kualitas sebagai target pembiayaan sekolah. Isu pembiayaan sekolah bermutu (school quality funding) masih dihitung secara minimal, yaitu menyangkut besaran subsidi dari pemerintah untuk tiap siswa pada setiap tingkat satuan pendidikan. Perdebatan yang ramai dibicarakan oleh para praktisi, birokrat, dan politisi di sekitar pembiayaan pendidikan pun baru menyentuh aspek kebutuhan siswa sebagai unit analisnya, belum menghitung kebutuhan institusi sekolah sebagai sebuah pendekatan penjaminan mutu (quality assurance). Agar anggaran pendidikan 20% yang diamanatkan undang-undang dapat diserap secara efisien dan transparan, perlu dipikirkan skema-skema pembiayaan pendidikan dengan menggunakan sekolah sebagai unit analisis, bukan lagi kebutuhan siswa.
Dalam analisis satuan biaya pendidikan dasar dan menengah, Abbas Ghozali (2004) memperkenalkan ragam nomenklatur biaya satuan pendidikan yang dimaksudkan untuk mengetahui rekam jejak kebutuhan pembiayaan siswa per-anak per-tahun, dalam rangka menghitung besaran uang yang harus ditanggung orang tua dan subsidi yang harus disediakan pemerintah. Hasil penelitian tersebut cukup membantu dalam menjelaskan kemampuan orang tua dan pemerintah sebagai kerangka konseptual untuk mengetahui informasi dasar tentang biaya satuan pendidikan (BSP), tetapi sayang tak mampu menjelaskan tentang pembiayaan pendidikan yang berorientasi pada mutu dengan menggunakan sekolah sebagai unit analisisnya. Dalam konteks ini pengalaman Sekolah Sukma Bangsa mungkin dapat menjadi salah satu alternatif untuk mendeteksi pembiayaan sekolah berbasis kualitas, terutama dalam upaya meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar.
Beberapa studi tentang dampak kualitas sekolah terhadap capaian akademis siswa mengindikasikan pentingnya menciptakan sebuah budaya sekolah yang sehat secara manajemen. Dalam skema pembiayaan pendidikan, keberhasilan siswa dalam paradigma lama selalu bergantung pada kemampuan finansial orang tua dan karakter psikologis siswa serta menafikan kemampuan manajerial dan budaya sekolah (JS Coleman, Equality of Education Opportunity, 1966). Dalam banyak hal, kementerian pendidikan nasional sejauh ini belum mampu membangun sebuah budaya sekolah yang komprehensif dan visioner pada tingkat sekolah. Karena itu kebutuhan untuk membangun suasana belajar yang positif dan kondusif tidak jarang belum termasuk dalam komponen dan indikator pembiayaan pendidikan. Padahal jika kita merujuk pada hasil studi lainnya yang dilakukan oleh Rob Greenwald, et al, dalam The Effect of School Resources on Student Achievement, Review of Educational Research (1996), jelas terlihat strategi pembiayaan pendidikan di sekolah sangat berpengaruh terhadap capaian siswa.
Beberapa peneliti mencoba untuk memecahkan kebuntuan pembiayaan yang berkaitan dengan pembangunan budaya sekolah sebagai bagian dari kebutuhan pokok sekolah dan berkaitan langsung dengan keberhasilan siswa, terutama dengan melihat tren pembiayaan pendidikan secara statistikal. Dengan menggunakan regresi statistikal, terlihat bahwa hubungan capaian akademis siswa dengan budaya sekolah tidak memiliki ikatan yang kuat karena pada prinsipnya siswa memiliki latar belakang budaya dan etnik yang berbeda. Jika hanya mengacu pada indikator kebutuhan siswa per-orang per-tahun, rumusan yang muncul biasanya sangat bersifat numerik dan dalam bahasa Eric Hanushek disebut sebagai production-function studies, dalam beberapa hal terlihat hubungan yang tidak selamanya positif antara semakin besar dana yang digunakan dalam proses pendidikan dengan capaian akademis siswa. Kesimpulannya cukup mengagetkan, "There is no strong or systematic relationship between school expenditures and student performance. (Eric Hanushek, The Impact of Differential Expenditures on School Performance, Educational Researcher: 1989)
Pengalaman Sukma Bangsa
Ketika memulai sekolah di tahun ajaran 2006, optimisme para pengelola Sekolah Sukma Bangsa (SSB) sebenarnya belumlah tinggi. Input sekolah ini adalah anak-anak korban tsunami, korban konflik, yatim piatu, dan fakir miskin, bahkan dengan kemampuan akademis di bawah rata-rata anak sekolah di luar Aceh. Tetapi dengan visi ingin menciptakan lingkungan belajar yang positif dan kondusif, seluruh manajemen sekolah mencoba menerapkan beberapa strategi dasar pembiayaan sekolah yang mengacu pada penciptaan budaya sekolah yang aman dan nyaman. Beberapa strategi yang dikembangkan SSB mengacu pada visi dan misi sekolah sebagai sarana untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang positif bagi para siswa. Karena itu, sejak awal SSB memperkenalkan budaya moving-class, perluasan makna guru, dan penciptaan jejaring sehingga memungkinkan sekolah untuk memperoleh kritik sekaligus masukan dari para stakeholders.
Strategi pembiayaan moving class ternyata berimplikasi positif terhadap budaya belajar siswa. Guru diwajibkan berkreasi menciptakan sebanyak mungkin class project activities yang tidak hanya berbasis kebutuhan proses belajar-mengajar di kelas tetapi juga di ruang terbuka seperti koridor dan halaman sekolah, perpustakaan, dan lingkungan sekitar. Ketika makna kelas diperluas menjadi keseluruhan sarana-prasarana yang tersedia baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah, kreativitas dan usulan proses pembelajaran tidak jarang muncul dari siswa itu sendiri. Karena itu, baik guru maupun siswa memiliki hak yang sama untuk mengusulkan sebuah proses pembelajaran, pada tahap akhirnya menjadi kewajiban guru untuk membuat proposal pembiayaan aktivitas kelas tersebut.
Perluasan makna guru juga berimplikasi pada kemampuan manajemen sekolah dalam mengidentifikasi sumber daya yang tersedia, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan komunitas sekolah (stakeholders). Di SSB, konsep guru diperluas bukan saja guru di sekolah, bahkan seorang tukang becak, paramedis puskesmas, polisi, satpam, cleaning service, hingga bupati adalah sumber daya guru yang harus diberi kesempatan untuk mengajar di kelas. Kepandaian guru dan murid dalam menentukan guest teacher untuk mata ajar tertentu setiap dua minggu sekali adalah sebuah proses yang mengasyikkan. Lagi-lagi kecermatan, kecerdasan, dan kreativitas guru dengan siswa dalam mengundang guru tamu harus dituangkan dalam sebuah proposal yang jelas berikut pembiayaannya. Pengalaman memaknai perluasan arti guru dengan sendirinya memacu guru itu sendiri untuk pandai membuat proposal dan membaca banyak buku sebagai rujukan proses pembelajaran. Dengan demikian, prinsip self-training seperti yang pernah dijabarkan oleh Thomas Gordon dalam Teacher Effectiveness Training menjadi lebih mudah untuk diterapkan.
Adapun strategi ketiga, yaitu menciptakan jejaring dengan seluruh komunitas sekolah adalah dalam rangka menciptakan kemitraan antara satu sekolah dan yang lainnya. Dengan menggunakan pendekatan sebagai pusat sumber belajar bersama (common learning resources center), SSB menawarkan diri kepada sekolah-sekolah sekitar untuk bekerja sama dalam melakukan proses belajar-mengajar. Tujuan dari strategi ini adalah dalam rangka memberikan ruang yang luas kepada sekolah untuk mempelajari apa saja yang mereka inginkan dari lingkungan sekitar, akhirnya dapat menopang posisi sekolah sebagai lembaga pendidikan yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan. Sejauh ini beberapa bentuk kegiatan kerja sama luar sekolah yang telah dilakukan SSB meliputi kegiatan tutoring, mentoring, magang (internship), kunjungan lapangan, kemah siswa, serta pengadaan bahan ajar dan suplai pendidikan lainnya yang difasilitasi melalui koperasi sekolah. Perjalanan masih panjang bagi SSB. Tetapi pengalaman membuat perencanaan pembiayaan pembelajaran yang melibatkan seluruh komponen sekolah paling tidak telah membuka mata SSB untuk berkembang menjadi A school thats learn.mr-mediaindonesia.Oleh Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma
Dalam analisis satuan biaya pendidikan dasar dan menengah, Abbas Ghozali (2004) memperkenalkan ragam nomenklatur biaya satuan pendidikan yang dimaksudkan untuk mengetahui rekam jejak kebutuhan pembiayaan siswa per-anak per-tahun, dalam rangka menghitung besaran uang yang harus ditanggung orang tua dan subsidi yang harus disediakan pemerintah. Hasil penelitian tersebut cukup membantu dalam menjelaskan kemampuan orang tua dan pemerintah sebagai kerangka konseptual untuk mengetahui informasi dasar tentang biaya satuan pendidikan (BSP), tetapi sayang tak mampu menjelaskan tentang pembiayaan pendidikan yang berorientasi pada mutu dengan menggunakan sekolah sebagai unit analisisnya. Dalam konteks ini pengalaman Sekolah Sukma Bangsa mungkin dapat menjadi salah satu alternatif untuk mendeteksi pembiayaan sekolah berbasis kualitas, terutama dalam upaya meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar.
Beberapa studi tentang dampak kualitas sekolah terhadap capaian akademis siswa mengindikasikan pentingnya menciptakan sebuah budaya sekolah yang sehat secara manajemen. Dalam skema pembiayaan pendidikan, keberhasilan siswa dalam paradigma lama selalu bergantung pada kemampuan finansial orang tua dan karakter psikologis siswa serta menafikan kemampuan manajerial dan budaya sekolah (JS Coleman, Equality of Education Opportunity, 1966). Dalam banyak hal, kementerian pendidikan nasional sejauh ini belum mampu membangun sebuah budaya sekolah yang komprehensif dan visioner pada tingkat sekolah. Karena itu kebutuhan untuk membangun suasana belajar yang positif dan kondusif tidak jarang belum termasuk dalam komponen dan indikator pembiayaan pendidikan. Padahal jika kita merujuk pada hasil studi lainnya yang dilakukan oleh Rob Greenwald, et al, dalam The Effect of School Resources on Student Achievement, Review of Educational Research (1996), jelas terlihat strategi pembiayaan pendidikan di sekolah sangat berpengaruh terhadap capaian siswa.
Beberapa peneliti mencoba untuk memecahkan kebuntuan pembiayaan yang berkaitan dengan pembangunan budaya sekolah sebagai bagian dari kebutuhan pokok sekolah dan berkaitan langsung dengan keberhasilan siswa, terutama dengan melihat tren pembiayaan pendidikan secara statistikal. Dengan menggunakan regresi statistikal, terlihat bahwa hubungan capaian akademis siswa dengan budaya sekolah tidak memiliki ikatan yang kuat karena pada prinsipnya siswa memiliki latar belakang budaya dan etnik yang berbeda. Jika hanya mengacu pada indikator kebutuhan siswa per-orang per-tahun, rumusan yang muncul biasanya sangat bersifat numerik dan dalam bahasa Eric Hanushek disebut sebagai production-function studies, dalam beberapa hal terlihat hubungan yang tidak selamanya positif antara semakin besar dana yang digunakan dalam proses pendidikan dengan capaian akademis siswa. Kesimpulannya cukup mengagetkan, "There is no strong or systematic relationship between school expenditures and student performance. (Eric Hanushek, The Impact of Differential Expenditures on School Performance, Educational Researcher: 1989)
Pengalaman Sukma Bangsa
Ketika memulai sekolah di tahun ajaran 2006, optimisme para pengelola Sekolah Sukma Bangsa (SSB) sebenarnya belumlah tinggi. Input sekolah ini adalah anak-anak korban tsunami, korban konflik, yatim piatu, dan fakir miskin, bahkan dengan kemampuan akademis di bawah rata-rata anak sekolah di luar Aceh. Tetapi dengan visi ingin menciptakan lingkungan belajar yang positif dan kondusif, seluruh manajemen sekolah mencoba menerapkan beberapa strategi dasar pembiayaan sekolah yang mengacu pada penciptaan budaya sekolah yang aman dan nyaman. Beberapa strategi yang dikembangkan SSB mengacu pada visi dan misi sekolah sebagai sarana untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang positif bagi para siswa. Karena itu, sejak awal SSB memperkenalkan budaya moving-class, perluasan makna guru, dan penciptaan jejaring sehingga memungkinkan sekolah untuk memperoleh kritik sekaligus masukan dari para stakeholders.
Strategi pembiayaan moving class ternyata berimplikasi positif terhadap budaya belajar siswa. Guru diwajibkan berkreasi menciptakan sebanyak mungkin class project activities yang tidak hanya berbasis kebutuhan proses belajar-mengajar di kelas tetapi juga di ruang terbuka seperti koridor dan halaman sekolah, perpustakaan, dan lingkungan sekitar. Ketika makna kelas diperluas menjadi keseluruhan sarana-prasarana yang tersedia baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah, kreativitas dan usulan proses pembelajaran tidak jarang muncul dari siswa itu sendiri. Karena itu, baik guru maupun siswa memiliki hak yang sama untuk mengusulkan sebuah proses pembelajaran, pada tahap akhirnya menjadi kewajiban guru untuk membuat proposal pembiayaan aktivitas kelas tersebut.
Perluasan makna guru juga berimplikasi pada kemampuan manajemen sekolah dalam mengidentifikasi sumber daya yang tersedia, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan komunitas sekolah (stakeholders). Di SSB, konsep guru diperluas bukan saja guru di sekolah, bahkan seorang tukang becak, paramedis puskesmas, polisi, satpam, cleaning service, hingga bupati adalah sumber daya guru yang harus diberi kesempatan untuk mengajar di kelas. Kepandaian guru dan murid dalam menentukan guest teacher untuk mata ajar tertentu setiap dua minggu sekali adalah sebuah proses yang mengasyikkan. Lagi-lagi kecermatan, kecerdasan, dan kreativitas guru dengan siswa dalam mengundang guru tamu harus dituangkan dalam sebuah proposal yang jelas berikut pembiayaannya. Pengalaman memaknai perluasan arti guru dengan sendirinya memacu guru itu sendiri untuk pandai membuat proposal dan membaca banyak buku sebagai rujukan proses pembelajaran. Dengan demikian, prinsip self-training seperti yang pernah dijabarkan oleh Thomas Gordon dalam Teacher Effectiveness Training menjadi lebih mudah untuk diterapkan.
Adapun strategi ketiga, yaitu menciptakan jejaring dengan seluruh komunitas sekolah adalah dalam rangka menciptakan kemitraan antara satu sekolah dan yang lainnya. Dengan menggunakan pendekatan sebagai pusat sumber belajar bersama (common learning resources center), SSB menawarkan diri kepada sekolah-sekolah sekitar untuk bekerja sama dalam melakukan proses belajar-mengajar. Tujuan dari strategi ini adalah dalam rangka memberikan ruang yang luas kepada sekolah untuk mempelajari apa saja yang mereka inginkan dari lingkungan sekitar, akhirnya dapat menopang posisi sekolah sebagai lembaga pendidikan yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan. Sejauh ini beberapa bentuk kegiatan kerja sama luar sekolah yang telah dilakukan SSB meliputi kegiatan tutoring, mentoring, magang (internship), kunjungan lapangan, kemah siswa, serta pengadaan bahan ajar dan suplai pendidikan lainnya yang difasilitasi melalui koperasi sekolah. Perjalanan masih panjang bagi SSB. Tetapi pengalaman membuat perencanaan pembiayaan pembelajaran yang melibatkan seluruh komponen sekolah paling tidak telah membuka mata SSB untuk berkembang menjadi A school thats learn.mr-mediaindonesia.Oleh Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar