Senin, 15 September 2008

Multi Budaya Ramadan di Amerika Serikat

Multi Budaya Ramadan di Amerika Serikat

By Republika Contributor
Multi Budaya Ramadan di Amerika Serikat

Ratusan kendaraan dan orang-orang bergegas keluar hingga malam larut--bagi pengamatan non Muslim, seolah-olah itu adalah Sidang Umum PBB yang berpindah di lingkungan masjid. Tidak, itu bukan Sidang Umum PBB, itu adalah pertemun komunitas Muslim lokal di Amerika Serikat (AS)

Setiap malam di dalam masjid seluruh negara, menurut Altaf Husain seperti yang dikutip oleh IslamOnline.net, para pria, wanita, pemuda, gadis, remaja, kaum tua dari seluruh ras dan kebangsaan, etnis, dari berbagai latar belakang sosial ekonom berkumpul untuk bersama-sama melakukan Sholat Tarawih.

Bergantung pada siapa yang memimpin jamaah, namun satu yang pasti imam pasti memiliki pelafalan yang benar dan indah. Uniknya setiap imam memiliki penekanan aksen dan pengucapan yang berbeda, mencerminkan berbagai wilayah di dunia. Sehingga para jamaah akan disuguhi suara indah bermacam aksen setiap malam Tarawih.

Itu adalah momen paling berharga, sebab imam-imam tua biasanya menggilir para pemuda yang baru saja lulus hafalan Al Qur'an (hafidz) untuk menjadi imam saat sholat. Benar-benar momen ibadah multi kultur. Mengapa? sebab sangat sering, hafidz pemuda Afrika-Amerika, akan memimpin jamaah keturunan Arab, Asia, Afrika-Amerika dan Hispanik. Bahkan sebaliknya pemuda ini mungkin saja belajar mengingat Al Qur'an di bawah bimbingan guru yang ia sendiri belajar dari Imam Sudan.

Kebersatuan Rasa

Lebih banyak masjid di AS saat ini yang memiliki program iftar (berbuka puasa) dan jenis makanan yang ditawarkan menggambarkan pertumbuhan keberagaman di komunitas Muslim AS. Satu malam, makanan yang dihidangkan berasal dari Afrika Utara, atau tepatnya Maroko. Sajian hangat bernama Harirah, sup yang kaya isi sehingga bisa menjadi makanan utama ketika dimakan dengan roti. Ada dalam menu pula, daging anak domba lembut digoreng dengan minyak zaitun murni dan tentu saja tak ketinggalan nasi jagung.

Sementara malam lain, giliran masakan Asia Selatan disajikan. Sering kali membuat orang memegang gelas di salah satu tangan ketika mereka menyuap nasi briyani ayam pedas yang disajikan dengan raitha (campuran antara ketimun, tomat, bawang, ketumbar, dan yogurt),--makanan pembuka yang dapat mendinginkan mulut akibat merica dan cabai pedas nasi briyani.

Ada juga malam-malam dimana beberapa budaya kuliner disajikan langsung, seperti ikan goreng, sayuran hijau dan kacang-kacangan dari Selatan jauh bersama hidangan Somalia dan Bosnia. Beberapa malam makanan dipesan dari restoran Cina, Thailand dan Afghanistan, menyajikan makanan penutup mulut dari Hunan dan ayam Jendral Tso, sejumput mi beras disiram saus kacang berbumbu asam tamarin, jahe, dan kacang polong. Hari lain, kebab kambing dan ayam disajikan bersama roti panggang segar.

Bukan cuma makanan saja, cara berpakaian pun memperlihatkan pengaruh multikultur di AS, terutama para pemuda. Itu dapat dilihat pada saat Tarawih apalagi ketika perayaan Idul Fitri, dimana orang disarankan untuk mengenakan pakain terbagus.

Contoh tidak biasa, seseorang pemuda Afrika-Amerika mengenakan tunik sebahu dengan topi Afghan, rompi dan celana khaki. Atau misal, seorang pemuda Pakistan-Amerika, memakai kaffiyah, tutup kepala dengan kain dan lingkaran hitam khas Arab padahal ia memakai baju Salwar-kameez. (pakaian khas Timur Tengah, tunik lebar dan celana longgar ala ali baba)

Semua menunjukkan jika Ramadan di Amerika Serikat benar-benar fenomena multikultur, menghidupkan keberadaan budaya Muslim AS yang berbaur dengan warna-warna, selera makanan, dan adat kebiasaan Muslim dari seluruh duniamr-republika

Tidak ada komentar: