Jumat, 19 September 2008

Kemiskinan Struktural dan Budaya yang Memiskinkan

Kemiskinan Struktural dan Budaya yang Memiskinkan
Oleh GPB Suka Arjawa

Di tingkat masyarakat, yang harus diperbaiki adalah pola budaya hidup kita, yang cenderung mempertahankan tradisionalitas. Jika disesuaikan dengan pola hidup di zaman sekarang, tidak semua praktik budaya sosial masyarakat seperti itu yang mampu memberi dukungan untuk hidup lebih baik. Bahkan, cenderung bisa memiskinkan. Budaya yang memiskinkan adalah sebuah praktik pola perilaku yang tidak memberikan peluang banyak kepada penganutnya untuk mampu secara maksimal berkompetisi dan berinteraksi dengan praktik budaya sosial yang terbaru.


PERISTIWA rebutan zakat di Pasuruan beberapa waktu yang lalu telah menewaskan 21 jiwa yang semuanya perempuan. Dua orang diberitakan kritis di rumah sakit. Banyak analis mengatakan bahwa peristiwa tersebut merupakan model (miniatur) dari kondisi sosial di Indonesia. Di sana terlihat adanya arogansi, seperti tidak adanya koordinasi dengan pihak keamanan dari penyelenggara zakat (merasa mampu sendiri), tidak adanya kesadaran untuk menciptakan ketertiban dan kesadaran untuk antre, seperti yang terlihat pada pencari zakat. Mau menang sendiri seperti yang terlihat pada berdesak-desakan dan saling sikutnya penerima zakat.


Kemiskinan Struktural

Pada tingkat pemerintahan, peristiwa Pasuruan seharusnya menyadarkan bagaimana kebijakan pembangunan yang berada di kabupaten yang bersangkutan. Artinya, sejauh mana pembangunan mampu memberikan nilai lebih kepada daerah yang bersangkutan, mampu memberikan penghidupan yang lebih layak kepada masyarakat sekitar. Pasuruan adalah kota satelit yang jaraknya hanya sekitar satu jam berkendara dari kota megapolitan Surabaya. Di daerah ini, pemerinatah Jawa Timur juga telah mendirikan kompleks perindustrian Pasuruan Industrial Estate Rembang (PIER). Seharusnya masyarakat Pasuruan mampu terangkat kemampuan ekonominya dengan adanya proyek tersebut, apalagi juga dengan adanya jalan tol, yang meskipun saat ini telah dipotong oleh lumpur Lapindo, tetapi lalu lintas menuju Pasuruan dari Surabaya tetap bisa terjangkau dalam waktu satu jam, baik dengan kendaraan bermotor maupun kereta api. Bahwa ribuan orang berbondong-bondong dan berdesakan hanya untuk memperebutkan uang Rp 20.000 - 30.000 adalah kenyataan yang susah dibantah bahwa Pasuruan juga merupakan kantong kemiskinan.

Fenomena ini bukan persoalan Pasuruan saja. Gresik juga mengalami problem yang sama. Gresik jelas kota industri di mana industri Petrokimia berdiri di sana yang salah satunya menghasilkan pupuk pertanian. Demikian juga dengan Semen Gresik yang sudah terkenal ke mana-mana. Akan tetapi, di daerah pedalaman Gresik masih terdapat kantong-kantong kemiskinan. Sama seperti Pasuruan, Gresik juga dapat tercapai satu jam dari Surabaya.

Di Bali, di daerah pedesaan di Badung Utara masih tersimpan kantong kemiskinan, apalagi di wilayah-wilayah pedalaman Karangasem. Padahal wilayah itu tidak sampai dua jam perjalanan dari Kota Denpasar.

Di sinilah persoalannya, ternyata industri-industri yang didirikan tersebut tidak mampu mengangkat derajat ekonomi masyarakat setempat secara lebih baik. Pola ini menyebar ke mana-mana, termasuk Bali. Inilah yang disebut dengan kemiskinan struktuaral. Industri dan pembangunan ternyata tidak mampu memberikan pemerataan pendapatan tetapi justru masih memperlihatkan suasana kolusi dan nepotis. Siapa yang menguasai perindustrian, maka dominasi dari hulu sampai hilir akan dikuasai oleh para koneksi mereka. Seharusnya, kalaupun tercipta kesenjangan pengetahuan pada masyarakat di sekitar kompleks industri dan pembangunan tersebut, haruslah diciptakan pelatihan dan pendidikan agar masyarakat setempat mampu ikut terserap bekerja dalam kompleks itu. Tetapi hal itu tidak dilakukan (maksimal?), bukan saja oleh mereka yang memiliki industri tetapi juga oleh pemerintah. Akibatnya, masyarakat akar rumput selalu miskin. Ini disebabkan struktur sosial di dalam masyarakat telah diciptakan untuk memiskinkan hidup mereka.

Budaya Memiskinkan

Di tingkat masyarakat, yang harus diperbaiki adalah pola budaya hidup kita, yang cenderung mempertahankan tradisionalitas. Jika disesuaikan dengan pola hidup di zaman sekarang, tidak semua praktik budaya sosial masyarakat seperti itu yang mampu memberi dukungan untuk hidup lebih baik. Bahkan cenderung bisa memiskinkan. Budaya yang memiskinkan adalah sebuah praktik pola perilaku yang tidak memberikan peluang banyak kepada penganutnya untuk mampu secara maksimal berkompetisi dan berinteraksi dengan praktik budaya sosial yang terbaru. Guyub, salah satu contohnya, adalah praktik kultural yang tidak mendukung model budaya modern. Praktik guyub atau kumpul-kumpul merupakan praktik budaya tradisional yang menuntut masyarakatnya selalu bisa berkumpul bersama keluarga. Di Jawa budaya seperti ini malah disiniskan dengan istilah mangan ora mangan asal ngumpul (makan tidak makan asal bisa kumpul). Tentu saja praktik kultur demikian sudah sangat tidak mampu mendukung budaya industri (apalagi informasi) yang kini telah mewabah di berbagai penjuru kota/dunia. Pada sisi lain, masyarakat dikenal suka menggelar upacara sebagai bentuk syukuran. Ini pun dilakukan melalui institusi yang disebut paguyuban. Pesta dalam bentuk syukuran ini dilakukan secara bersama-sama dan bergiliran. Bisa dibayangkan, bagaimana penganut budaya seperti itu akan mampu berkompetisi dengan masyarakat modern yang memandang waktu sebagai hal paling berharga. Pendukung kebudayaan tradisional tersebut akan sangat gagap apabila bersentuhan dengan mudaya modern.

Pada peristiwa Pasuruan, kebanyakan mereka berasal dari pedesaan yang sangat mungkin merupakan pendukung budaya tradisional seperti yang dipaparkan tadi. Bisa jadi mereka terlena dengan keguyuban dan kepestaannya sehingga tidak mampu berkompetisi dengan modernisasi. Berbaris dan antre merupakan budaya modern. Tetapi yang terjadi di Pasuruan, mereka gagap dengan budaya antre tersebut. Mereka memilih berdesakan dan berebut satu dengan yang lain. Mungkin, keadaan alam membuat hidup mereka miskin. Akan tetapi, jika mempunyai budaya kompetitif, mereka bisa keluar dari kungkungan tersebut dan berkompetisi di tempat lain untuk mencari kerja.


* Pada tingkat pemerintahan, peristiwa Pasuruan seharusnya menyadarkan bagaimana kebijakan pembangunan yang berada di kabupaten yang bersangkutan.

* Ternyata industri-industri yang didirikan mampu mengangkat derajat ekonomi masyarakat setempat secara lebih baik.

* Bahwa ribuan orang berbondong-bondong dan berdesakan hanya untuk memperebutkan uang Rp 20.000 - 30.000 adalah kenyataan yang susah dibantah bahwa Pasuruan juga merupakan kantong kemiskinan.mr-balipos

Tidak ada komentar: