Sistem Jaminan Halal pada Bank Syariah
Dr HM Nadratuzzaman Hosen
Direktur Eksekutif Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) dan Direktur Eksekutif LPPOM-MUI
AM Hasan Ali, MA
Staf Pengkaji PKES
Istilah sistem jaminan halal (SJH) atau halal assurance system (HAS) sudah tidak asing lagi di industri perusahaan produk halal. Saat ini setiap perusahaan yang menghasilkan produk halal dituntut dapat memberikan garansi kalau produk yang dimilikinya halal dikonsumsi oleh umat Islam.
Adalah Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) yang telah mengeluarkan standar sistem jaminan halal untuk perusahaan produk halal yang kini sudah diakui keabsahannya oleh berbagai negara, seperti Cina, Australia, Amerika, Kanada dan Malaysia. Halal assurance system adalah sistem jaminan halal bagi perusahaan yang memproduksi produk halal.
HAS merupakan suatu sistem yang menjaga kehalalan produk, di mana sistem dibuat sedemikian rupa dengan halal policy dan halal system diterapkan di semua tingkatan manajemen maupun di semua bagian, serta komitmen manajemen dan pegawai menjaga kehalalan dari suatu bahan untuk menghasilkan halal produk.
Awalnya produsen menerima sertifikat halal dari MUI. Audit yang dilakukan oleh LPPOM-MUI adalah audit bahan dari hulu ke hilir dengan juga melakukan traceability terhadap sumber bahan baku. Setelah diaudit, hasil audit dilaporkan ke Komisi Fatwa MUI.
Bila lolos maka keluarlah sertifikat halal, yaitu fatwa tertulis terhadap status kehalalan suatu produk. Di sini halal bersifat lizatihi. Tidak ada bahan najis atau haram boleh tercampur. Hal ini menganut zero tolerance.
Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI berlaku dua tahun. Semasa dua tahun inilah perusahaan harus menerapkan HAS.
Paling lambat enam bulan setelah menerima sertifikat halal, perusahaan sudah siap diaudit oleh LPPOM-MUI dalam rangka mendapatkan sertifikat HAS. Bila tiga kali audit mendapat nilai A, maka perusahaan mendapatkan sertifikat tersebut. Di sini dimaknai bahwa perusahaan harus membuktikan dengan sistemnya, mereka konsisten memproduksi produk halal.
Mengapa mereka perlu konsisten? Sering kali bahan baku halal terbatas, sedangkan bagian marketing ingin meningkatkan pemasaran, produk yang ada perlu dimodifikasi, dan ditambah bahan tertentu agar lebih laku di pasaran. Di sini terlihat ada kemungkinan terjadi conflict of interest antara bagian produksi dan marketing.
Faktor internal dan eksternal
Beberapa faktor internal dan eksternal perusahaan juga dapat memengaruhi perusahaan untuk tidak memproduksi produk halal. Dengan sistem yang menjamin kehalalan maka diharapkan produk yang dihasilkan dapat dijamin kehalalannya.
Adanya SJH ini diharapkan dapat melindungi kepentingan umat Islam yang mayoritas di Indonesia dalam perilaku konsumsi. Sebagai penduduk yang mayoritas di Indonesia, umat Islam berhak mendapatkan akses produk yang halal.
Salah satu caranya dengan memberlakukan SJH pada perusahaan-perusahaan yang memproduksi produk halal. Dengan SJH ini, umat Islam dapat mengonsumsi produk tanpa ada kecemasan ataupun kekhawatiran kalau produk yang dipilihnya merupakan produk nonhalal (haram).
Tidak dimungkiri jika produk-produk yang beredar di sekeliling kita, baik yang dijual di supermarket ataupun di tingkat pedagang pengecer, kebanyakan produk olahan yang sebelumnya diproses melalui mekanisme produksi dengan menggunakan berbagai bahan baku. Tidak tertutup kemungkinan bahan baku yang digunakan dalam proses produksi tercampur dengan benda yang haram, seperti babi dan turunannya.
Critical point dalam SJH di perusahaan produk halal terletak pada ada dan tidak adanya benda haram di dalam proses produksi. Biasanya yang perlu diwaspadai sering terjadi pada gelatin. Dalam hal ini, SJH dapat mengontrol mulai dari bahan baku yang digunakan selama proses produksi hingga pada proses packaging untuk didistribusikan.
Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana dengan SJH pada industri perbankan syariah? Apakah mekanisme yang kini sudah berjalan di industri perbankan syariah sudah memadai untuk menciptakan iklim SJH di dalamnya? Atau sebaliknya masih perlu membutuhkan SJH sebagaimana pada industri perusahaan produk halal?
Hemat penulis, komentar Menteri Agama H Maftuh Basuni mengenai dana haji yang tidak dikelola oleh industri perbankan syariah, menjadi sinyal perlu adanya SJH di industri perbankan syariah. Masalahnya, pada kesempatan itu Menag sempat berkomentar, mengapa Departemen Agama dalam menyelenggarakan ibadah haji tidak menetapkan hanya bank-bank syariah saja sebagai penerima dana tabungan haji bagi umat Islam yang ingin menunaikan ibadah haji? Jawabannya cukup mengagetkan, “Karena operasional bank-bank syariah belum mencerminkan syariah itu sendiri.”
Di perbankan syariah, diperlukan adanya halal assurance system dan sertifikat SJH adalah dalam rangka membuktikan bahwa bank syariah dapat menjamin kehalalan produknya yang bersifat lighairihi. SJH di industri perbankan syariah diarahkan untuk mem-back up sekaligus membantu tugas dan fungsi Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang sudah ada di setiap industri perbankan syariah.
Dalam prosesnya, SJH pada industri perbankan syariah telah mempunyai prosedur tetap yang dapat dijadikan Standard Operating Procedure (SOP) dalam memberikan penilaian halal tidaknya operasional sebuah bank syariah. Berawal dari fatwa-fatwa ekonomi syariah yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang selanjutnya dijadikan acuan oleh regulator, dalam hal ini Bank Indonesia, untuk menetapkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) sebagai payung hukum operasional bank syariah di Indonesia. Jadi, SOP untuk menilai operasional bank syariah mengacu pada ketentuan yang sudah ditetapkan dalam fatwa DSN-MUI dan PBI.
Dengan menggunakan model check list, kita dapat merumuskan sistem jaminan halal di industri perbankan syariah. Check list ini berfungsi untuk melihat nilai kesesuaian antara operasional bank syariah dan ketentuan yang ada dalam fatwa DSN-MUI dan PBI.
Penilaian tersebut mencakup akad-akad yang digunakan, investasi yang dilakukan, produk yang ditawarkan dan marketing yang diterapkan. Semuanya harus zero haram (nilai haram = nol). Artinya, tidak ada toleransi terhadap unsur nonhalal (haram) dalam memberikan penilaian.
Titik kritis (critical point) dalam SJH di industri perbankan syariah terletak pada ada tidaknya unsur bunga (riba), gharar (ketidakjelasan), maysir (perjudian), risywah (suap), tadlis (penipuan), dan dzulm (aniaya) dalam operasional bank syariah. Dalam praktiknya, penilaian SJH di industri perbankan syariah dapat dilakukan oleh auditor independent yang dalam hal ini dapat dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN).
Bank syariah yang sudah berjalan di atas rel SJH akan memperoleh sertifikat halal dari DSN-MUI. Sertifikat ini sebagai bukti bahwa bank syariah operasionalnya telah dijamin sesuai dengan kaidah syariah Islam.
Dengan adanya SJH di industri perbankan syariah akan memberikan stimulan bagi umat Islam untuk lebih yakin bertransaksi dengan bank syariah. Hati nasabah akan lebih tenang (tuma’ninah an-nafs) jika operasional suatu bank syariah berada dalam lingkup SJH.
mr-republika.
Ikhtisar:
- Sertifikat halal adalah fatwa tertulis terhadap status kehalalan suatu produk.
- Perhatian utama sistem jaminan halal di perusahaan produk halal terletak pada ada dan tidak adanya benda haram di dalam proses produksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar