Kamis, 04 September 2008

Ketika Kualitas Dosen Setara Guru SD Sekitar 67 persen dosen perguruan tinggi swasta (PTS) hanya lulusan sarjana (S1) dengan kompetensi mengajar terba

Ketika Kualitas Dosen Setara Guru SD Sekitar 67 persen dosen perguruan tinggi swasta (PTS) hanya lulusan sarjana (S1) dengan kompetensi mengajar terbatas.

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo kerap menyatakan keinginannya agar perguruan tinggi memasang target menjadi world class university. Namun kenyataan di lapangan, jumlah dosen perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia, yang baru lulus srata (S1) mencapai lebih dari 50 persen.Padahal, dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa para pendidik jenjang pendidikan dasar dan menengah persyaratannya adalah minimal bergelar S1. Sementara, untuk mendidik di jenjang pendidikan akademis S1, maka sekurang-kurangnya bergelar strata dua (S2). Adapun bagi program pascasarjana adalah doktor (S3) dan profesor.

''Jika ini masih terjadi berarti pemerintah dan pengelola PTS dan PTN melanggar undang-undang,'' ujar pakar pendidikan dan guru besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ), HAR Tilaar kepada pers, Kamis (4/9).Menurut Tilaar, para pengelola pendidikan tinggi swasta juga tidak boleh menutup mata dan membiarkan kualitas dosen yang rendah mengajar. Mereka, lanjut dia, juga harus mendorong dosen meneruskan kuliah dan belajar lagi. ''Rendahnya mutu dosen PTS juga disebabkan karena PTS tidak berani mensyaratkan bahwa dosen minimal harus S2. Masak guru SD dan SMP saja harus S1, dosen juga tetap S1,'' cetusnya.

Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), Soedijarto menambahkan, seharusnya pemerintah menetapkan regulasi dan ketentuan yang lebih jelas sehingga PTS harus mensyaratkan dosennya berpendidikan S2. Selain itu, tentunya fasilitas, sarana dan prasarana harus di tingkatkan. ''Sungguh memprihatinkan kalau sekarang ini ternyata mahasiswa kita diajar oleh dosen yang kemampuan dan kapasitasnya setara dengan guru SD, SMP, atau SMA,'' cetusnya.

Lebih jauh Soedijarto menyatakan, seharusnya pemerintah menetapkan regulasi dan ketentuan yang lebih jelas sehingga PTS harus mensyaratkan dosennya berpendidikan S2. Selain itu, tentunya fasilitas, sarana dan prasarana harus di tingkatkan. ''Di Eropa dan Amerika, yang namanya dosen itu ya doktor. Siswa SMA saja gurunya master. Jika ini dibiarkan terjadi maka hal sama saja pemerintah terus membuat daya saing perguruan tinggi kita rendah,'' jelasnya.

Berdasarkan data yang dimiliki Litbang Depdiknas disebutkan bahwa dari 120 ribu dosen tetap PTS dan PTN di Indonesia, sebanyak 50,65 persen atau sekitar 60 ribu di antaranya belum berpendidikan S2. Jumlah dosen di seluruh Indonesia tercatat 240 ribu, dan 120 ribu di antaranya adalah dosen tetap.Sementara, berdasarkan survei yang dilakukan Assosiasi Perguruan Tinggi Swasata Indonesia (APTISI) pada Desember 2007 hingga Februari 2008 menyimpulkan, 67 persen dosen perguruan tinggi swasta (PTS) hanya lulusan sarjana (S1) dengan kompetensi mengajar terbatas.

Ketua APTISI Suharyadi menegaskan bahwa kualitas dosen PTS memang jauh di bawah standar, karena sekitar 67 persen belum berpendidikan S-2. ''Pada 2009 nanti, ketika anggaran pendidikan sudah 20 persen, kita ingin ada perhatian lebih pemerintah. Pemerintah harus bertanggung jawab dan konsisten dalam menjalankan UU Guru dan Dosen,'' jelasnya. Koordinator Education Forum, Suparman melihat rendahnya mutu dosen tidak lepas dari kondisi obyektif perguruan tinggi itu sendiri. ''Secara umum kondisi obyektif perguruan tinggi di Indonesia memang masih jauh dari mutu yang ideal,'' cetusnya.

Hasil temuan Asiaweek menunjukkan, daya saing perguruan tinggi di Indonesia rendah. Sangat sedikit perguruan tinggi yang mampu masuk kategori 20 besar di kawasan Asia. ''Perguruan tinggi hanya melayani selera pasar tanpa mempedulikan tugas utamanya sebagai institusi yang mengajarkan kebenaran, menemukan kebenaran, membangun nilai-nilai baru. Tiga tugas luhur itu sudah lama ditinggalkan perguruan tinggi,'' tuding Suparman.Hampir semua perguruan tinggi, kata Suparman, masih berorientasi sebagai 'perguruan tinggi tukang mengajar'' yang tentu saja kegiatan rutinnya hanyalah transfers of knowledge dengan proses belajar tatap muka dengan kualitas pembelajaran ala kadarnya. ''Oleh karena itu, sumber pendapatan adalah uang SPP, SPI, BMOM, dan sejenisnya yang intinya sebetulnya adalah pemerasan kepada mahasiswa,'' jelasnya.

Di lain pihak, pemerintah berkomitmen untuk terus melakukan sertifikasi pada dosen sebesar 10 persen tiap tahun. Diharapkan, pada dosen yang jumlahnya sekitar 120 ribu, sudah disertifikasi dalam waktu 10 tahun ke depan. ''Kami ingin menciptakan profesionalisme dan kesejahteraan dosen, sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen. Ini kita lakukan secara bertahap, karena anggaran pendidikan di Dikti, tidak hanya fokus pada sertifikasi dosen semata,'' ujar Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Fasli Jalal.

Fasli mengungkapkan, seiring dengan peningkatan anggaran pendidikan 20 persen, maka bisa dimungkinkan, sertifikasi dosen akan lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan. ''Untuk tiga tahun pertama ini, kita alokasikan dulu 10 persen, nanti kita evaluasi, jika berhasil dari sisi pelaksanaan sertifikasi dan kinerja dosen, baru akan ditingkatkan jumlahnya,'' tegasnyaMenurut Fasli, saat ini jumlah dosen yang tercatat, baik yang berada di PTN dan PTS, jumlahnya sekitar 120 ribu. Sedangkan yang tidak tercatat sekitar 10 ribu. Dari 120 ribu dosen yang tercatat, sebanyak 70 ribu berstatus PNS (60 ribu mengajar di PTN, dan 10 ribu mengajar di PTS), dan 50 ribu berstatus swasta.mr-republika

Tidak ada komentar: